POLA PENDIDIKAN ISLAM PERIODE DINASTI ABBASIYAH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur pada Mata
Kuliyah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H SOFYAN SAURI, M.Pd
Disusun oleh :
IIP SAPRUDIN
BARDA’I ISKANDAR
PROGRAM MAGISTER
S2
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena
proses pendidikan Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam,
dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam itu
sendiri. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa meneladani model-model
pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan
ulama-ulama sesudahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah
dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam
sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal,
diantaranya adalah masjid.
Pada masa Nabi SAW, masjid bukan hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga
sebagai tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang
dewasa, disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan
tempat menerima duta-duta asing.Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan
berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan
dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat
itu.Sebelum al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang
dipakai sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa
pada saat itu.
Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa
Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan
menulis dan dapat memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa
ini murid-murid di tingkat dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas,
jelas dan mudah dipahami tentang beberapa masalah.Pendidikan di tingkat dasar
ini diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan buku teks wajib.Pada
tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam
dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan
dasar.Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi,
pendalaman dan analisa.
Periode
Dinasti Abbasiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam didunia,
Selama pemerintahan Dinasti Abbasiyah banya bidang pendidikan Agama maupun
bidang pendidikan Umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam
perkembangan pendidikan tersebut.
Pendidikan
Islam yang sangat berkembang pada periode Dinasti Abbasiyah yaitu pada
pemerintahan Harun Ar-Rasyid, Pada masa itu pendidikan Islam sangat berkembang
pesat sehingga banyak ilmu-ilmu baru yang sampai saat ini terus dikembangkan,
misalnya dalam ilmu umum diantaranya biadang Filsafat, astronomi, kedokteran,
matematika, dan lain-lain. Juga dalma ilmu agama diantaranya Tafsir, Ilmu Kalam
, Tasawuf, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan membahas Pola Perndidikan
Islam Pada periode Dinasti Abbasiyah serta kemajuan-kemajuan yang dicapai pada
periode itu.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan islam pada periode Dinasti Abbasiyah?
- Apa tujuan Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah?
- Siapa sajakah tokoh-tokoh pendidikan yang berpengaruh pada periode Dinasti Abbasiyah
- Apa saja jenjang Pendidikan yang ada pada periode Dinasti Abbasiyah?
- Apa saja lembaga-lembaga yang ada pada periode dinasti Abbasiyah?
- Apa saja metoda yang diterapkan dan materi yang digunakan dalam pendidikan periode Dinasti Abbasiyah?
- Bagaimana kurikulum Pendidikan yang diterapkan pada Dinasti Abbasiyah?
- Bagaimana Tradisi Ilmiah dan atmosfir Akademik pada Dinasti Abbasiyah?
- Bagaimana Sarana Prasarana serta Pembiayaan Pada periode Dinasti Abbasiyah?
- Bagaimana Manajeman Pendidikan dan para pelajar pada periode Dinasti Abbasiyah?
- Tujuan
- Tujuan Umum
Makalah ini disusun dalam rangka merefleksi kembali
sejarah islam yang telah lalu, sebagai cermin pertimbangan untuk masa mendatang.
Sekaligus juga untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan
Islam.
- Tujuan Khusus
a.
Memahami sejarah perkembangan pendidikan Islam
pada periode Dinasti Abbasiyah
b.
Memahami9 Periodesasi Pada masa Dinasti Abbasiyah
c.
Mengetahui tujuan pendidikan pada periode
dinasti Abbasyiyah
d.
Mengetahui tokoh-tokoh Pendidikan Islam yang
berpengaruh pada periode Dinasti Abbasiyah
e.
Mengetahui jenjang pendidikan yang ada pada
periode Dinasti Abbasiyah
f.
Mengetahui lembaga-lembaga yang ada pada
periode dinasti Abbasiyah
g.
Mengetahui metoda yang diterapkan dan materi
yang digunakan dalam pendidikan periode Dinasti Abbasiyah
h.
Mengetahui kurikulum Pendidikan yang
diterapkan pada Dinasti Abbasiyah
i.
Mengetahui Tradisi Ilmiah dan atmosfir
Akademik pada Dinasti Abbasyiyah
j.
Mengetahui Sarana Prasarana serta Pembiayaan
Pada periode Dinasti Abbasyiyah
k.
Mengetahui Manajeman Pendidikan dan para pelajar
pada periode Dinasti Abbasiyah
D. Manfaat
1. Memperkuat
pemahaman terhadap pola pendidikan pada periode Dinasti Abbasiyah
2. Memahami
pola pendidikan periode Dinasti Abbasiyah yang selanjutnya dapat
diimplementasikan pada lembaga pendidikan masa kini agar tercapai dan
melahirkan generasi keemasan sebagaimana pada periode Dinasti Abbasiyah
E. Metode Penulisan
Metode
Penulisan pada makalah ini menggunakan pendekatan metode kepustakaan(methods of
literature)
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah isi makalah, penulis
merumuskan sistematia penulisan makalah, bab I pendahuluan terdiri dari latar
belakang, Rumusan Masalah, tujuan meliputi tujuan umum dan khusus, manfaat,
metode penulisan, sistematika penulisan, bab II meliputi landasan teoretis, bab
III pembahasan, bab IV simpulan dan rekomendasi terdiri dari simpulan umum dan
khusus dan ditutup dengan daptar pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
a.
Hakekat
pase pendidkan periode Dinasti Abbasiyah
Periode
Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari
segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan
kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan
tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa
Dinasti Umayyah kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang
pesat yang mencapai puncak pada Periode
Dinasti Abbasiyah.[1][1] Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat
kegiatan dunia Islam selalu bermuara
pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti
Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke
dalam ma’had.[2][2]
Kepribadian beberapa Khalifah,
terutama pada masa awal Abbasiyah seperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu
buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga berpengaruh dalam
kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan.
Selain itu, karena permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam semakin kompleks
dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai
bidang, khususnya ilmu-ilmu naqli
seperti Ilmu Agama, Bahasa, dan Adab. Adapun ilmu aqli seperti Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa Luar dan
ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh Umat Islam dengan metode yang teratur.
Kegiatan ilmiah di kalangan Umat Islam, semasa Abbasiyah yang menandakan Islam
memperoleh kemajuan disegala bidang.[3][3]
b.
Hakekat
Pola Pendidikan Periode Dinasti Abbasiyah
Sebelum
timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non fomal.Lembaga-lembaga ini
berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang
bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang becorak non formal tersebut adalah :[4]
1. Kuttab Sebagai Lembaga
Pendidikan Dasar
Kuttab atau maktab
berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis.Jadi kataba adalah tempat belajar menulis. Sebelum
datangnya Islam Kuttab telah ada di negeri arab, walaupun belum banyak dikenal.
Diantara penduduk makkah yang mula-mula belajar menulis huruf arab di kuttab
ialah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu Syams dan Abu Qais
Ibnu Abdi manaf ibnu Zuhroh ibnu Kilab.[5]
2. Pendidikan
Rendah di Istana
Corak pendidikan anak-anak di istana
berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab-kuttab, pada umumnya di istana
para orang tua siswa (para pembesar istana) yang membuat rencana pembelajaran
selaras dengan anaknya dan tujuan yang ingin dicapai orang tuanya. Rencana
pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama dengan pelajaran
pada kuttab-kuttab hanya sedikit ditambah dan dikurangi sesuai dengan kehendak
orang tua mereka.[6]
Guru yang mengajar di
Istana disebut Muaddib.Kata muaddib berasal dari
kata adab yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan.guru pendidikan di istana
disebutmuaddib karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan
kecerdasan dan pengetahuan-pengetahuan orang-orang terdahulu kepada anak-anak
pejabat.[7]
3. Rumah-Rumah Para
Ulama’ (Ahli Ilmu Pengetahuan)
Walaupun sebenarnya, rumah bukanlah
merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan pelajaran namun pada zaman
kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, banyak
juga rumah-rumah para ulama’ dan ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat
belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena ulama’ dan
ahli yang bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid,
sedangkan pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan
daripadanya.
Diantara rumah ulama’
terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Gazali, Ali
ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’kub Ibni Killis, Wazir khalifah Al-Aziz billah
Al-fatimy, dan lain-lainnya.
5. Perpustakaan
Para ulama’ dan sarjana dari
berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku dalam bidangnya
masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para
penuntut ilmu. Bahkan para ulama’ dan sarjana tersebut memberikan
kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar diperpustakaan pribadi
mereka.
Baitul hikmah di Baghdad yang
didirikan khalifah Al-Rasyid adalah merupakan salah satu contoh dari
perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa
arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu.[8]
Perpustakaan pada masa
itu lebih merupakan sebuah universitas karena disamping terdapat kitab-kitab,
di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.[9]
6. Masjid
Semenjak berdirinya
dizaman nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi
berbagai masalah kehidupan kaum muslimin.Ia, menjadi tempat bermusyawarah,
tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi
lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan.
Pada masa Bani Abbas
dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh para
pengusaha pada umumnya di perlengkapi dengan berbagai macam sarana dan
fasilitas untuk pendidikan.[10]
7.
Madrasah
Sejalan dengan perkembangan zaman dan
tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga
pendidikan tinggi islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk
(1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang
termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki
telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi
dan Syafi’i dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota
Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi,
merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain
membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegomoni negara terlalu
kuat terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya
pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. ”pemakruhan” penggunaan nalar setelah
runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari
kurikulum madrasah, mereka yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini
terpaksa belajar sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang
di lembaga nonformal
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Berdirinya Daulah Abbasiyah
Berdirinya daulah
Abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu:
1. System mencari
pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini berlangsung sejak akhir
abad pertama hijriah yang bermarkas di Syam dan tempatnya di Alhamimah. System
ini berakhir dengan bergabungnya Abu muslim al- Khurasani pada jum’iyah yang
sepakat atas terbentuk Daulah Abbasiyah
2. Strategi kedua dilanjutkan dengan
terang-terangan dan himbauan-himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan
daulah abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan daulah umawiyah.
Berbagai teknis diterapkan oleh
pengikut Muhammad Al-‘Abbasy, seperti sambil berdagang dan melaksanakan haji.
Di balik itu terpogram bahwa mereka menyebarkan ide dan mencari pendukung
terbentuknya daulah.
Faktor-faktor pendorong
berdirinya daulah Abbasiyah dan penyebab suksesnya, yaitu sebagai berikut :
a. Banyak
terjadi perselsihan antara intern bani Umawiyah pada dekade akhir pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya
memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta
b. Pendeknya masa jabatan khalifah
di akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah, seperti khalifah Yazid bin al-Walid
lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan
c. Dijadikan putra mahkota
lebih dari jumlah satu orang seperti yang dikerjakan oleh Marwan bin Muhammad
yang menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota
d. Bergabungnya sebagian afrad keluarga
umawi kepada madzhab-madzhab agama yang tidak benar menurut syariah, seperti Al
Qadariyah
e. Hilangnya kecintaan rakyat
pada akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah
f. Kesombongan
pembesar-pembesar bani Umawiyah pada akhir pemerintahannya
g. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali
(non-arab)[11]
B. Sejarah
Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah
Popularitas daulah Abbasyiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya
Al-Ma’mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah
figur khalifah shaleh ahli ibadah, senang
bershadaqah, sangat mencintai
ilmu sekaligus mencintai para ‘ulama, senang
dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa
pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani
dengan menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama
lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, yang salah satu karya
besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan
pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga
menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial.
Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat yang tak tertandingi.[12]
C. Periodesasi
Masa Abbasiyah
Masa
Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
‘’The Golden Age’’[3]. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai
puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain
itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi
dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Daulah
Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman Rasulullah, yaitu : Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah al-Abbas[13]. Kekuasaan daulah abbasiyah dibagi dalam
lima periode, yaitu[14]:
1. Periode
I (132 H/750 M-232 H/847 M ), masa pengaruh Persia pertama
2. Periode
II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama
3. Periode
Iii (334 H/945 M-447 h/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia
kedua
4. Periode
IV (447 H/1055 M-590 h/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki kedua
5. Periode
V (590 H/1104 M-656 h/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.
Daulah Abbasiyah
mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I. Para khalifah pada
masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan
agama sekaligus. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa
khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M).
Kekayaan yang dimiliki khalifah harun al-rasyid dan puteranya Al-Ma’mun
digunakan untuk kepentingan sosial seperti, lembaga pendidikan, kesehatan,
rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan
berada pada zaman keemasan. Al-Ma’mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan
banyak mendirikan sekolah.
Tidak hanya mencakup
kepentingan sosial saja, masa ini juga masa kejayaan umat islam sebagai pusat
dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek
kehidupan, seperti :
a. Administratif
pemerintahan dengan biro-bironya;
b. Sistem
organisasi militer;
c. Administrasi
wilayah pemerintahan;
d. Pertanian,
perdagangan, dan industri;
e. Islamisasi
pemerintahan;
f. Kajian
dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, historiografi,
filsafat islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika islam, sastra, seni, dan
penerjemahan;
g. Pendidikan,
kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah, dan
perguruan tinggi; perpustakaan dan toko buku, media tulis, seni rupa, seni
musik, dan arsitek[15].
D. Tujuan
Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Pada
masa Nabi masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu
keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap
keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah
bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Tujuan
Keagamaan Dan Akhlak
Sebagaiman
pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal
Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut
ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
2. Tujuan
Kemasyarakatan
Para
pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi
masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju
masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu
yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga
diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
3.
Cinta
Akan Ilmu Pengetahuan
Masyarakat
pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam
ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu
tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan
berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk
memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
4. Tujuan
Kebendaan
Pada masa itu mereka
menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak dan pangkat yang
tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia
ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.[16]
E. Tokoh-Tokoh Pendidikan
Islam Yang Berpengaruh Pada Masa Bani Abbasyiyah
Sejalan
dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan dan tradisi serta
atmosfer akademik., maka pada zaman Abbasiyah ini di tandai pula dengan
lahirnya para ilmuwan yang sekaligus bertindak sebagai para guru. Mereka bukan
hanya ahli dalam ilmu agam Islam melainkan juga ahli dalam bidang ilmu pengetahuan
umum, seni dan arsitektur. Di antara para ilmuwan dan guru yang terkenal di
zaman Abbasiyah adalah:
1. Al-Razi
(guru Ibnu Sina)
Ia
berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku
tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling
masyhur adalah Al-Hawi Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis
penyakit dan upaya penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta
panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama
yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama
yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan
berada di tangan Ibnu Sina.
2. Al-Battani
(Al-Batenius)
Seorang
astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam
waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling
terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De
Numeris Stellerumet Motibus, dimana terjemahan tertua dari karyanya masih
ada di Vatikan.
3. Al
Ya’qubi
Seorang
ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu
geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan
judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae.
4. Al
Buzjani (Abul Wafa)
Ia
mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan
trigonometri).
5. Ibn
Sina
Ibn
Sina adalah seorang mahaguru dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat. Dengan
karya-karyanya seperti al-Qanun fi al-Thibb (Ensiklopedi
Kedokteran) sebanyak tiga jilid, al-Syifa dan Al-Najah.
6. Ibn
Miskawih
Ibn
Miskawih adalah seorang guru dalam ilmu akhlak. Salah satu karyanya
adalah Tahdzib al-Tahdzib.
7. Ibn
Jama’ah
Ibn
Jama’ah adalah seoarang guru dalam bidang ilmu fikih dan akhlak,Tadzkirat
al-Sa’mi lil ‘Alim wa al-Muta’allim.
8. Imam
al-Juwaini
Imam
al-Juwaini adalah seorang guru dalam bidamg teologi pada Madrasah Nidzamiyah
tempat Imam al-Ghazali menimba ilmu, karyanya berjudul al-Irsyad.
9. Imam
al-Ghazali
Imam
al Ghazali tel;ah tampil sebagai mahaguru di Madrasah Nidzamiah, istana, dan di
masyarakat pada umumnya. Melalui karyanya yaitu Ihya’ Ulum al-Din sebanyak
tiga jilid, ia telah tampil sebagai guru dalam bidang fikih dan tasawuf.
Pencapaian
kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari adanya
sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya
dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya.
Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M)
hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi,
biologi, fisika dan sejarah.
Dari
hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim
ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai
bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :
a) Ilmu
Umum
1. Ilmu
Filsafat
a. Al-Kindi
(809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
b. Al
Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
c. Ibnu
Bajah (wafat tahun 523 H)
d. Ibnu
Thufail (wafat tahun 581 H)
e. Ibnu
Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain:
Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain
f. Al
Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya:
Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin
dan lain-lain
g. Ibnu
Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza,
Kasful Afillah dan lain-lain
2. Bidang
Kedokteran
a. Jabir
bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
b. Hurain
bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.
penterjemah bahasa asing.
c. Thabib
bin Qurra (836-901 M)
d. Ar
Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak
yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
3. Bidang
Matematika
a. Umar
Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
b. Al
Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
4. Bidang
Astronomi
Berkembang
subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam
perbintangan ini seperti :
a. Al
Farazi : pencipta Astro lobe
b. Al
Gattani/Al Betagnius
c. Abul
wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
d. Al
Farghoni atau Al Fragenius
5. Bidang
Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni
tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
b) Ilmu Naqli
1. Ilmu
Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir
ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin
Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
2. Ilmu
Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti:
Imam Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273
H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain
3. Ilmu
Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam
menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’,
Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
4. Ilmu
Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H)
karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H) karangannya:
Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
5. Para
Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka
masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang
mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy,
1995:276-278).[17]
F. Tingkat-Tingkat
Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah
terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
1. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab
sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak
belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun
pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya,
pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan
menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof
ala kadarnya.[18]
2.
Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu
pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang
diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu,
Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran,
dan juga musik.
3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul
Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada
tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
a. Jurusan
ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu
Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang
diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu,
Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan
ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu
yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik,
ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga
kedokteran.[19]
G. Lembaga-Lembaga
Pendidikan
Sebagaimana
banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah, bahwa zaman dinasti Abbasiyah
adalah zaman keemasan Islam (golden age) yang ditandai oleh
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang
mengagumkan, yang dapat dibuktikan keberadaannya, baik melalui berbagai sumber
informasi dalam buku-buku sejarah maupun melalui pengamatan empiris di berbagai
wilayah di belahan dunia yang pernah dikuasai Islam, seperti Irak, Spanyol,
Mesir dan sebagian dari Afrika Utara.
Berbagai
kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak mungkin terjadi tanpa didukung
oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena pendidikanlah yang menyiapkan
sumber daya insane yang menggerakkan kemajuan tersebut. adapun gambaran keadaan
pendidikan di zaman Bani Abbasiyah sebagai berikut.
1. Keadaan
Lembaga Pendidikan
Selain
masjid, kuttab,al-badiah, istana, perpustakaan dan al-bimaristan, pada zaman
Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula lembaga pendidikan, berupa toko
buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium,
dan madrasah.
a. Toko
Buku (al-Hawanit al-Warraqien)
Kemajuan
dalam ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya indistri perbukuan, dan
industry perbukuan mendorong lahirnya took-toko buku. Di beberapa kota atau
negara yang di dalamnya terdapat took-toko buku, menggambarkan bahwa kota atau
negara tersebut telah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan.
b. Rumah-rumah
Para Ulama (Manazil al-Ulama)
Di
antara rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais
Ibn Sina. Dalam hubungan ini al-Jauzajani berkata kepada sahabatnya, bahwa pada
setiap malam ia berkumpul di rumah Ibn Sina untuk menimba ilmu, dan membaca
kitab al-Syifa’ dan sebagian lain ada yang membaca kitab al-Qanun. Abu Sulaiman
al-Sijistani juga menggunakan rumahnya untuk kegiatan orang-orang yang mau
menimba ilmu, dan mia menggunakan rumahnya untuk para ulama senior untuk
memvalidasi bacaan-bacaannya.
Selanjutnya
rumah yang sering digunakan sebagai majelis ilmu yang didatangi para pelajar
dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah rumah Imam al-Ghazali (504 H)
yang menerima para siswa di rumahnya, setelah ia berhenti sebagai guru di
Madrasah al-Nidzamiyah di Nisafur, serta menuntaskan pejalanan spiritualnya,
yaitu mengerjakan ibadah haji, beriktikaf di masjid al-Amawiy di Damaskus serta
menulis kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Demikian
pula rumah Ya’kub bin Kalas wazir al-Aziz billah al-Fathimy, rumah al-Sulfiy
Ahmad bin Muhammad Abu Thahir di Iskandariyah digunakan sebagai
tempat untuk kegiatan ilmiah.
c. Sanggar
Sastra (al-Sholun al-Adabiyah)
Sanggar
sastra ini mulai tumbuh sederhana pada masa Bani Umayyah kemudian berkembang
pesat pada zaman Abbasiyah, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari
perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Di sanggar sastra ini
terdapat ketentuan kode etik yang khusus. Dalam hubungan ini Ibn Abd Rabbih,
al-Muqri dan al-Maqrizi berkata berkata, bahwa sanggar sastra tidak bisa
menerima setiap orang yang menginginkannya, melainkan sanggar tersebut hanya
dibolehkan untuk kelompok orang tertentu.
d. Madrasah
Dalam
sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani Abbas, sebagai
kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya.
Dalam kaitan ini, Ahmad Tsalabi berpendapat, bahwa ketika minat masyarakat
untuk mempelajari ilmu di Halaqah yang ada di masjid makin menibgkat dari tahun
ke tahun, dsan menimbulkan kegaduhan akibat dari suara para pengajar dan siswa
yang berdiskusi dan lainnya yang mengganggu kekhusukan shalat. Selain itu,
berdirinya madrasah ini juga karena ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan
semakin berkembang, dan untuk mengajarkannya diperlukan guru yamg banyak,
peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi
yang lebih tertib. Selain itu, madrasah juga didirikan dengan tujuan untuk
memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan ideology tertentu.
e. Perpustakaan
dan Observatorium
Tempat-tempat ini juga
digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti luas, yaitu belajar bukan
dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya dipahami, melainkan
kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa(student centris), seperti
belajar dengan cara memecahkan masalah, eksperime, belajar sambil bekerja (learning
be doing), dan penemuan (inquiri). Kegiatan
belajar yang demikian itu dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di
lembaga-lembaga pusat kajian ilmiah.
f. Al-Ribath
Secara
harfiah al-ribath berarti ikatan yang mudah di buka. Sedangkan
dalam arti yang umum, al ribath adalah tempat untuk melakukan latihan,
bimbingan, dan pengajran bagi calon sufi. Di dalam al-ribath tersebut
terdapat beberapa ketentuan atau komponen yang terkait dengan pendidikan
tasawuf, misalnya komponen guru yang terdiri dari syekh (guru
besar), mursyid (guru utama), mu’id (asisten
guru), dan mufid (fasilitator). Murid pada al-ribath dibagi
sesuai dengan tingkatannya, mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah.
Adapun bagi yang lulus diberikan pengakuan berupa ijazah.[20]
H. Metode
Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Dalam
proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu
aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan
atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui metode
pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid
hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan
gurunya.
Pada masa Dinasti
abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
1. Metode
Lisan
Metode
lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte (imla’)adalah
metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena denganimla’
ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode
ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa
sekarang sulit dimiliki.
2. Metode
ceramah
Metode
ceramah disebut juga metode as-sama’, sebab dalam metode ceramah,
guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid
mendengarkannya.Metodeqiro’ah biasanya digunakan untuk belajar
membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
3. Metode
Menghafal
Metode
menghafal Merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini.Murid-murid harus
membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat
pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi, seorang murid
harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga
dalam proses selanjutnya murid akan mengeluarkan kembali dan
mengkonstektualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan
perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu
yang baru.
4. Metode
Tulisan
Metode
tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini.Metode tulisan adalah
pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkajian buku-buku terjadi proses
intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode
ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga
sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa ini
belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku
sedikit teratasi.[21]
I. Materi
Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Materi
pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya,
disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga
ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari).Hal ini tampaknya sangat berbeda
dengan materi pendidikan dasar pada masa sekarang.Di saat sekarang ini materi
pendidikan tingkat dasar dan menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada
materi pilihan.Materi pilihan baru ada pada tingkat perguruan tinggi.
Menurut
Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam”,
yang dikutip oleh Suwito menjelaskan tentang materi pelajaran yang bersifat
wajib (ijbari)yakni, Al-Qur’an,
Shalat, Do’a, Sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya yang
dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum secara tuntas
dan detail), Membaca dan menulis
Sedangkan
materi pelajaran ikhtiari (pilihan)
ialah; Berhitung; Semua ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya nahwu
yang berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara tuntans dan
detail); Syair-syair; Riwayat/ Tarikh Arab.[22]
J. KURIKULUM
Kurikulum
pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami
perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa sekarang.
Kurikulum pada masa itu lebih merupakan susunan mata pelajaran yang harus
diajarkan pada peserta didik sesuai dengan sifat dan tingkatannya. Kurikulum
pendidikan ini misalnya terlihat dalam pembagian ilmu yang dikemukakan para
tokoh sebagai berikut.
1. Kurikulum
Menurut Al-Ghazali
Ia
membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi
sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan.
Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
Menurut
al-Ghazali, bahwa dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu yang bersumber dari
syariat (Al-Qur’an dan Al-Hadis), dan ilmu yang sumbernya bukan dari syariat.
Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya:
1)
ada ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak , baik sedikit maupun banyak,
seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib. Ilmu ini tercela,
karena tidak memiliki sifat manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. 2) ilmu
pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak. Seperti ilmu agama dan
ilmu tentang peribadatan. 3) ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu,
terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme.
Selanjutnya
dilihat dari segi hukum mempelajarinya dalam kaitannya dengan nilai gunanya,
ilmu pengetahuan dapat digolongkan: 1) ilmu fardhu ‘ain yang wajib dipelajari
setiap individu, seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya. 2) ilmu fardhu
kifayah, ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap muslim, melainkan cukup
jika di antara kaum muslimin ada yang mempelajarinya. Dan jika seorang pun di
antara kaum muslim tidak ada yang mempelajarinya, maka mereka akan berdosa. Di
antara yang tergolong fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran, ilmu hitung,
pertanian, pertenunan, politik, pengobatan tradisional dan jahit menjahit.[23]
2. Kurikulum
Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun
kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta dididk, dengan tujuan agar
pesrta didik menyukainya dan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun
membagi ilmu menjadi 3 macam.
a) Kelompok
ilmu lisan (bahasa), ilmu tentang bahasa (gramatika), sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b) Kelompok
ilmu naqli, yaitu ilmu yang di ambil dari kitab suci dan
sunnah Nabi.
c) Kelompok
ilmu aqli, yaitu ilmu yang diperoleh melalui kemampuan
berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan akal.
K. TRADISI
ILMIAH DAN ATMOSFER AKADEMIK
Tradisi
ilmiah dapat diartikan sebagai kebiasaan yang berkaitan dengan pengembangan
ilmu yang sudah memasyarakat dan digunakan secara merata di kalangan ilmuwan.
Tradisi ilmiah ini selanjutnya membentuk sebuah keadaan yang khas yang
selanjutnya disebut atmosfer akademik.
Di antara tradisi ilmiah
dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya
adalah sebagai berikut.
1. Tukar
Menukar Informasi ( Muzakarah )
Tradisi
ini dilakukan oleh para pelajar dari berbagai daerah untuk saling bertukar
pikiran, pemahaman dan pengamalan sesuatu ajaran.
2. Berdebat
Tradisi
ini dilakukan oleh para pelajar dan pakar dalam bidang tertentu untuk saling
menguji kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan kekuatan argumentasi yang
dimiliki masing-masing ulama. Tradisi ini memiliki pengaruh yang kuat kepada
para ilmuwan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keilmuannya
masing-masing.
3. Rihlah
Ilmiah
Rihlah ilmiah
berarti melakukan perjalanan atau pengembaraan dari suatu daerah ke daerah lain
dalam rangka menuntut ilmu atau melakukan penelitian terhadap sesuatu masalah.
Tradisi ini terjadi seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan
tersebarnya para ilmuwan pada berbagai wilayah tersebut.
4. Penerjemahan
Tradisi
penerjemahan ini terjadi karena didorong oleh keingintahuan dan keperluan para
ilmuwan dalam menjelaskan tentang sesuatu masalah. Khalifah Bani Abbasiyah
bernama Al-Makmun sangat memberikan perhatian terhadap kegiatan penerjemahan.
Ia mendirikan Bait al-Hikmah (rumah kegiatan ilmu ) untuk
melakukan kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani, India, dan Cina dan menyewa
penerjemah asing, seperti, Hunain Ibn Ishak.
5. Mengoleksi
Buku dan Mendirikan Perpustakaan
Tradisi
mengoleksi buku ini tumbuh sejalan dengan adanya tradisi penghormatan yang
tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi penghormatan yang tinggi kepada para
ilmuwan serta tradisi membaca dan menulis buku. Kegiatan mengoleksi buku ini
tidak hanya terjadi terjadi pada perorangan, malainkan juga secara kelembagaan.
6. Membangun
Lembaga Pendidikan
Yang
dimaksud dengan lembaga pendidikan disini adalah tempat atau wadah yang
digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, pengajaran, bimbingan, dan
pelatihan, baik yang bersifat formal, non formal maupun informal. Lembaga
pendidikan tersebut seperti, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis
al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
7. Melakukan
Penelitian Ilmiah
Penelitian
adalah suatu kegiatan ilmiah yang secara garis besar diarahkan kepada dua hal.
Pertama, penelitian untuk mendapatkan temuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan
atau teori. Penelitian jenis pertama ini disebut sebagai penelitian ilmiah.
Kedua, penelitian untuk menerapkan teori atau kosep menjadi sebuah program atau
kegiatan yang secara pragmatis mendatangkan manfaat atau meningkatkan
kesejahteraan masyarakat baik secara lahir naupun batin. Penelitian jenis kedua
ini disebut sebagai penelitian terapan.
8. Menulis
Buku
Sejalan
dengan adanya tradisi meneliti yang demikian kuat dan bervariasi, maka pada
zaman Abbasiyah juga muncul tradisi menulis buku. Di antara penulis penulis
tersebut adalah : 1) al- Jahidz, ia di kenal sebagai
seorang sastrawan terkenal yang hidup pada zaman al-Makmun dan berani menulis
tanpa terikat pada tradisi lama. 2) Imam Bukhari, ia dikenal
sebagai peneliti dan penulis Hadis yang mahsyur. 3) Ibn sa’id, ia
mengarang buku tentang kemenangan umat islam dalam peperangan dengan judulThabaqat
al-Qubra sebanyak 8 jilid.
9. Memberikan
Wakaf
Tradisi
memberikan wakaf ini terjadi antara lain ketika seseorang yang memiliki banyak
harta, sedangkan tidak ada keturunan untuk merawat dan memanfaatkannya dengan
baik, maka harta tersebut diserahkan kepada sebuah lembaga untuk dimanfaatkan
bagi kepentingan umum, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan dasar
ikhlas karena Allah SWT. Selain itu, wakaf juga muncul sebagai jalan untuk
menjalin kesalihan sosial dan pendekatan diri kepada Allah SWT, serta bekal
pahala di akhirat.[24]
L. SARANA
DAN PRASARANA
Sarana
prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan penelitian
dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini
sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang memerlukan
peralatan khusus dalam mengajarkannya. Gedung sekolah, perkantoran, alat-alat
tulis, rumah tempat tinggal bagi para guru, asrama bagi mahasiswa, ruang
praktikum bagi para mahasiswa, dan berbagai sarana lainnya yang dibutuhkan
tersedia dengan memadai. Ketersediaan sarana prasarana dan peralatan belajar
mengajar terjadi berkat adanya perhatian yang besar dari pemerintah serta
masyarakat pada umumnya terhadap masalah pendidikan.
M. PEMBIAYAAN
PENDIDIKAN
Sumber
pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran belanja pemerintah serta dari
dan wakaf yang berhasil dihimpun. Dana tersebut digunakan untuk biaya hidup
para guru, para pelajar, pembangunan gedung sekolah, serta pengadaan saran dan
prasarana serta peralatan pendidikan lainnya. Biaya pendidikan ini dikeluarkan
karena pada umumnya lembaga pendidikan yang diselenggarakan bersifat gratis,
yakni dibiayai oleh pemerintah. Menurut catatan para ahli sejarah, bahwa pada
setiap tahunnya, pemerintah Abbasiyah mengeluarkan dan tidak kurang dari
600.000 dinar atau setra dengan 6 miliat rupiah untuk ukuran waktu itu, atau
sebanyak 6 triliun untuk ukuran waktu sekarang.[25]
N. MANAJEMEN
PENDIDIKAN DAN PARA PELAJAR
Terjadinya
kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adany manajemen
pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Gedung-gedung sekolah dibanmgun,
diatur, dipelihara, digunakan dan dikelola dengan tertib. Rumah-rumah bagi
guru, dan asrama bagi para pelajar dibangun sesuai dengan rapid an tertib.
Demikian pula jadwal kegiatan belajar mengajar, tugas-tugas bagi para guru dan
lainnya diatur dengan baik. Hubungan antara lembaga pendidikan yang berada di
pusat pemerintahan dan yang ada di daerah diatur dan dikelola dengan baik.
Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh sebuah kementrian pendidikan.
Para
pelajar yang menimba ilmu pada zaman Abbasiyah berasal dari daerah sekitarnya
serta mancanegara. Keadaan para pelajar yang demikian itu menyebabkan kota
Baghdad menjadi masyarakat multi etnis dan multikultural. Interaksi antara para
pelajar yang berasal dari latar belakang daerah yang berbeda-beda. Hal itu
menyebabkan timbulnya atmosfer akademik dan tradisi ilmiah yang luar biasa.
Keadaan ini semakin menambah suasana kegiatan intelektual makin meningkat dan
mendorong proses pematang keilmuan seseorang.
BAB
IV
SIMPULAN
Dinasti
Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah.
Banyak sekali faktor pendorong yang memicu dalam
terbentuknya dinasti bani abbasiyah. Dinasti Abbasiyah tergolong yang paling
lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu al-Abbas Assafah di tahun 750 M sampai
dengn Al-Mu’tashim di tahun 1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima abad
tersebut kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah.
Masa
pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam di
dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya
Al-Ma’mum (813-833 M).
Pada
masa Nabi, masa khoilfah
rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata.
Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa
abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat
pada masa itu.
Selama
pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang
pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam
perkembangan pendidikan tersebut. Seperti Al-Razi, Al-Battani, Al Ya’qubi, Al
Buzjani, Ibn Sina, dan masih banyak yang lainnya.
Dari
hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim
ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai
bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain ilmu umum dan ilmu naqli.
Pada
masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu tingkat
sekolah rendah, Tingkat sekolah menengah, dan Tingkat perguruan tinggi.
Mengenai lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah juga mengalami banyak
kemajuan dalam lembaga pendidikannya seperti, toko buku, rumah para ulama,
majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
Pada
masa Dinasti abbasiyah dalam pengajarannya, metode
pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:
lisan, hafalan, dan tulisan. Sedangkan materi Materi
pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya,
disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga
ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari).
Kurikulum
pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami
perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa
sekarang. Kurikulum pendidikan ini terlihat dalam pembagian ilmu yang
dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
1.
Kurikulum
Menurut Al-Ghazali
Ia
membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi sumbernya.
Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan. Dan yang
ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
2.
Kurikulum
Menurut Ibn Khaldun
Ibn
Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta dididk,
dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan bersungguh-sungguh
mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam, yakni Kelompok ilmu
lisan (bahasa), kelompok naqli dan kelompok aqli.
Tradisi
ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya
adalah sebagai berikut, Tukar Menukar Informasi ( Muzakarah ), Berdebat, Rihlah
Ilmiah, Penerjemahan, Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan, Membangun
Lembaga Pendidikan, Melakukan Penelitian Ilmiah, Menulis Buku, Memberikan
Wakaf.
Sarana
prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan penelitian
dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini
sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang memerlukan
peralatan khusus dalam mengajarkannya.Terjadinya kemajuan dalam sistem
pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya manajemen pengelolaan pendidikan
yang rapi dan tertib.
DAFTAR PUSTAKA
1[1], M. abdul karim
h. 172
2[2] Lihat, Hassan
Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam
(Kairo: Maktabah al-Nahḍoh al-Misyriyah,
t.th.) h. 129.
3[3] Musyrifah
Sunanto, op. cit., h. 54.
[4] Zuhairi
Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara,
1995), 89
[5] Suwito, Sejarah
Sosial Pendidikan …,12
[6] Suwito, Sejarah
Sosial Pendidikan …, 13
[7] Zuhairi
Muchtarom, Sejarah pendidikan …,, 92
[8] Zuhairi
Muchtarom, Sejarah Pendidikan…, 98
[9] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban …, 55
[10] Zuhairi
Muchtarom, Sejarah pendidikan …, 99
[11]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 49
[12]Mahrus
As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung: CV Amirco, 1994),
h. 25-26
[13-25]Lihat : http:// zahfizahroturrofiah.blogspot.com/.../sejarah-pendidikan-islam-pada-masa
dinasti abbasiayah….[1,10,2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar