• السنة الثامنة من الهجرة Pada tahun ke delapan dari hijriyah , ada beberapa peristiwa yang perlu kita ketahui karena dari peristiwa-peristiwa tersebut banyak mengandung makna yang tersembunyi bahkan ada beberapa kisah yang cukup menarik. Diantara kisah-kisah tersebut adalah: 1.Masuk islamnya Khalid Bin Walid Dahulu sebelum masuk Islam Nama Khalid bin Walid sangat termashur sebagai panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy yang tak terkalahkan.Begitu gagah dan perkasa Khalid baik di Medan perang maupun ahli dalam menyusun strategi perang. Pada waktu Perang Uhud melawan tentara Muslimin yang di bawah pimpinan Rosululloh SAW banyak sahabat yang Syahid terbunuh ditangan Khalid bin Walid. Tetapi setelah perang Uhud usai yang di menangkan oleh kaum kafir, khalid bin Walid terheran dengan sosok Muhammad yang berani melawan pasukan yang di bawa oleh Khalid bin Walid. Karena Khalid Bin Walid adalah sesosok yang disegani dan terkenal dengan keberaniannya dan kecerdasannya dalam menyusun strategi perang. Khalid Bin Walid dulunya adalah seorang yang sangat menentang dan musuh yang paling keras terhadap ajaran yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw. Dan kebencian ini yang tak lain lahir dari masa kecilnya yang dimana Khalid sudah terlihat menonjol di antara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati rakyat sehingga membuat rakyat memberikan kepercayaan kepadanya. Lama-kelamaan Khalid diangkat oleh rakyat untuk menjadi pemimpin suku Quraisy. Dan pada waktu itu juga orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam, mereka sangat anti dan memusuhi agama Islam dan penganut-penganut Islam. Datangnya islam bagi mereka adalah sebuah pertanda bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy, karena Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Sebab itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat-berakar. Khalid sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri di garis paling depan dalam penggempuran terhadap islam. Hal ini sudah wajar dan seirama dengan kehendak alam. Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Dan kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Islam. Dan tujuan Khalid adalah Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dan dia harus menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan kepada sukunya kwalitasnya sebagai pekelahi. Setelah kekalahan orang Quraysh dari Mekkah pada pertempuran Badar tahun 2H, orang-orang Quraisy memilih Abu Sofyan sebagai pemimpinnya.Mendengar berita tersebut Khalid segera mengambil kesempatan ini supaya dia di pandang tinggi dan hanya ingin di pandang “singa” di mata orang lain.Setelah itu, Abu Sofyan berusaha membalas kekalahan terhadap orang Islam dan Muhammad. Dan Abu Sofyan berhasil mengumpulkan sekitar 1000 pasukan dari Mekkah dan menyusun strategi perang yang di dampingi oleh Khalid. Setelah strategi sudah di bentuk mereka menuju ke Madinah untuk menyerang. Dan inilah adalah bukti bahwa strategi yang disusun oleh khalid itu luarbiasa.Startegi yang pertama Khalid menyadari bahwa Madinah adalah kota yang memiliki pertahanan kuat,Dan hal ini berarti jika orang islam keluar dari madinah maka kekuatan orang islam akan melemah.Kemudian untuk mengatasi masalah ini khalid menyuruh salah satu pasukannya untuk memancing agar orang islam keluar kota dengan membakar kebun pertanian sekeliling Madinah. Karena orang islam yang ada di Madinah mudah terpancing, akhirnya mereka merencanakan keluar kota untuk melawan kaum Quraisy. Sebelum keluar kota, Nabi Muhammad menyadari bahwa jumlah orang Islam dari Madinah lebih sedikit,dan jumlah musuh itu lebih banyak dari pada pasukannya. Karena dengan ketidakseimbangan jumlah pasukan, Nabi memilih bukit Uhud sebagai medan perang agar pasukanya yang sedikit ini tidak mudah terkepung dan diserang oleh pasukan Quraisy. Dan Nabi mengetahui bahwa Khalid ikut dalam perang ini. Oleh karena itu Nabi menyusun strategi antikavaleri karena Nabi tahu kehebatan Khalid dan pasukannya yang berkuda.Nabi Muhammad memposisikan pasukannya di lembah bukit yang terlindung dari sisi samping dan belakang dan menyiagakan pasukan pemanah di atas bukit Uhud untuk menghalangi orang Quraisy yang berusaha menaiki bukit untuk menyerang orang Islam dari samping atau belakang. Dan strategi ini adalah salah satu strategi luar biasa yang di susun oleh Nabi. Itu karena bila dilihat dari jumlah pasukan, sangat tidak seimbang karena pasukan kaum muslim pada saat itu berjumlahkan sekitar 700 dan jumlah pasukan kaum kafir berjumlah sekitar 3000 (ada yang mengatakan 1000). Strategi ini awalnya berhasil dan orang islam yang jumlahnya sedikit berhasil menahan serangan orang Quraisy. Dan Pasukan Quraisy tidak bisa menyerang dari samping atau belakang meski menang jumlah karena terhalang pasukan pemanah di puncak bukit. Dan disinilah sesosok Khalid yang ahli dalam mengatur strategi perang beraksi. Khalid memerintahkan pasukannya untuk mundur dan meninggalkan harta mereka. Tujuan strategi ini adalah untuk mengelabui pasukan muslim. Setelah pasukannya mundur, mereka memutari gunung Uhud karena dengan menaiki pasukannya yang menaiki kuda, mereka dapat memutari gunung dengan cepat. Sementara itu,pasukan pemanah yang di amanati agar tidak meninggalkan puncak bukit walaupun mereka menang ataupun kalah untuk mengambil rampasan perang (ghanimah). Dan mereka akhirnya di butakan oleh hawa nafsu,dan akhirnya mereka turun dari bukit untuk mengambil harta rampasan yang ditinggalkan oleh musuh. Di saat inilah Khalid bersama pasukan kavalerinya yang sudah menunggu untuk menyerang balik para pemanah yang turun bukit ini dan pasukan Muslim lain yang sekarang tanpa perlindungan. Strategi Khalid ini berhasil dan banyak orang Muslim mati dan tercerai-berai. Dalam perang ini paman Nabi yaitu Hamzah dinyatakan syahid. Dalam perang ini akhirnya orang Islam kalah karena keserakahan dan tidak mau mengikuti strategi yabg telah ditetapkan dan diarahkan oleh Nabi Muhammad. Dan masuk Islamnya Khalid tidak terjadi begitu saja, tapi setelah pergulatan batin yang panjang. Hal itu dimulai ketika kekuatan umat Islam semakin terkonsolidasi di Madinah. Di sisi lain, kondisi di Makkah kian melemah. Enam tahun setelah peristiwa hijrah, perjanjian Hudaibiyah terjadi antara Rasulullah Saw dan pemimpin Quraisy.Dalam pada itu, kedua belah pihak menyepakati masa damai 10 tahun lamanya. Lantaran perjanjian ini, Nabi Muhammad Saw dan seluruh rombongan langsung umat Islam berbondong-bondong bergerak bersama-sama dari Madinah ke Makkah hanya untuk satu tujuan, yakni menuntaskan kerinduan pada kampung halaman Nabi Saw serta menjalani ibadah haji. Di sinilah Khalid merasa bahwa apa yang diperjuangkan Nabi Muhammad bukanlah fanatisme kesukuan atau harta benda, melainkan sesuatu yang lebih luhur, yakni keimanan pada Allah Swt. Dengan kata lain, Nabi tidak menyimpan dendam pada orang-orang Quraisy yang telah menyingkirkannya dari Makkah. Seperti ditulis dalam kitab Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat,pada suatu hari Khalid merenungkan agama Islam yang ia saksikan sendiri semakin besar pengikut dan maruahnya. Khalid pun berkata, “Demi Allah, sungguh jalan kebenaran telah tampak. Orang itu (Nabi Muhammad Saw) benar-benar utusan Allah. Lalu, sampai kapan aku memeranginya? Demi Allah, aku akan pergi menghadapnya dan masuk Islam”. Keinginan Khalid ini mendapat kecam an dari tokoh Quraisy, Abu Sufyan. Namun, Khalid tidak menyerah. Ia pun menemui Utsman bin Thalhah dan selanjutnya berpapasan dengan Amr bin al-Ash. Ketiganya pergi ke Madinah menghadap kepada Rasulullah SAW di hari pertama Bulan Shafar tahun delapan Hijriyah. Ketika berjumpa dengan Nabi, Khalid mengucapkan salam pujian. Wajah Rasulullah berseri-seri dengan menjawab salam Khalid dan dua temannya itu. Sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat, Khalid memohon ampunan kepada Allah dan meminta pengertian dari Nabi akan perangainya dahulu sebagai pemimpin pasukan kafir Quraisy. Rasul pun bersabda, Sesungguhnya Islam menghancurkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya (orang islam).dan pada saat itu Khalid di beri gelar Pedang Allah( سيف الله المسلول). Sebagai pemuka pasukan Muslimin, perang pertama yang dijalani Khalid adalah Perang Mu'tah. Dalam kecamuk peperangan itu, pembawa panji Islam telah gugur sebagai syahid. Kemudian, Tsabit bin Aqram merebut panji Islam dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berseru, Wahai sekalian kaum Anshar! Maka, pasukan Muslimin segera mendatanginya. Di hadapan mereka, Khalid menerima panji dari tangan Tsabit. Demi Allah, aku Tsabit bin Aqram tidaklah mengambil bendera ini melainkan untuk aku serahkan kepadanya, Khalid memimpin serangan balasan terhadap pasukan kafir Quraisy. Sejak Perang Mu'tah ini, tidak ada peperangan berikutnya dalam sejarah jihad Islam yang tidak disertai Khalid. Sesudah wafatnya Rasulullah Saw, sejumlah golongan mengumumkan murtad dari agama Islam. Jazirah Arab kembali bergolak. Khalid memimpin pasukan Muslim untuk menghadapi kaum yang menolak membayar zakat serta memecah- belah persatuan umat Islam itu. Setelah situasi Jazirah Arab cukup kondusif, kekuasaan Islam mencakup hingga Irak dan perbatasan Syam (Suriah). Di Irak, pasukan Muslim bertemu dengan bala tentara Persia di bawah komando Raja Kisra yang lalim. Khalid memimpin pasukan Muslim sehingga memenangi pertempuran melawan pasukan Kisra. Usai itu, Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq kemudian memerintahkan pasukan Khalid kembali ke negeri Syam. Di sana, sudah menunggu pasukan Romawi yang angkuh. Khalid membawa 10 ribu personel dari Irak melintasi padang pasir ke arah Syam. Mereka menerobos gersangnya gurun dengan perbekalan seadanya. Namun, semua dilalui dengan kepatuhan, keimanan yang teguh, dan kesabaran.Sesampainya di tujuan, Khalid melihat pasukan Romawi yang begitu besar jumlahnya. Ia tidak gentar dan segera mempersiapkan perlengkapan perangnya. Pertempuran antara pasukan Muslim dan pasukan Romawi terjadi di Ajnadin. Kemenangan berada pada pihak Khalid . Setelah itu, pasukan Muslim bergerak menuju medan Yarmuk, di mana pasukan Romawi lainnya sudah menunggu. Saat itu, jumlah pasukan Muslim tak lebih dari 45 ribu personel, sedangkan pasukan Romawi terdiri atas 200 ribu prajurit dengan perlengkapan perang yang lebih unggul. Akan tetapi, Khalid tak gentar dan berusaha mempelajari strategi musuh untuk kemudian menemukan kelemahan-kelemahan mereka.Baik perang di Ajnadin maupun Yarmuk berakhir dengan kekalahan di pihak Romawi. Sejak saat itu, negeri Syam bersih dari kekuasaan Romawi. 2.Perang Mu’tah Peperangan ini tercatat di dalam sejarah sebagai sebuah peperangan besar, di mana tentara Islam yang berjumlah 3.000 orang melawan 200.000 tentara Romawi Nasrani. Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya 12 orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Swt. Rasullah Saw diutus oleh Allah Swt untuk mendakwahi dan memerangi manusia hingga mereka mengikrarkan kalimat tauhid. Maka kemuliaan bagi yang mengikuti agamanya dan kehinaan bagi yang menyelisihinya. Sebagaimana Rasulullah Saw memulai dakwah dari kerabatnya yang terdekat dari kabilah Quraisy lalu bangsa Arab secara umum dan siapa saja yang dekat atau datang kepadanya dari berbagai penjuru, maka demikian pula beliau memerangi musuh pertama yang terdekat yaitu kafir Quraisy para penyembah berhala kemudian bangsa Arab di sekitar Makkah dan Madinah dan lainnya lalu ahli kitab dari bangsa Yahudi di Madinah dan sekitarnya. Dan sekarang tiba saatnya untuk memerangi bangsa Romawi yang beragama Nasrani dan nanti akan tiba gilirannya memerangi kaum Majusi para penyembah api dan seluruh umat kafir hingga agama Allah tinggi dan jaya di permukaan bumi, di atas semua agama sekalipun orang-orang kafir benci dengan kemenangan Islam. Inilah Islam dan inilah jihad yang merahmati umat manusia dan tidak membiarkan mereka berlarut-larut dalam laknat Allah dengan tetap dalam kekafiran, tetapi Islam mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik dan kufur kepada cahaya Islam. Rasulullah Saw bersabda, “Allah takjub dengan orang-orang yang masuk surga dalam keadaan diikat rantai besi.” (HR. Bukhari). Maksudnya bahwa mereka tertawan oleh tentara Islam lalu diikat dengan rantai besi kemudian digiring ke negeri Islam dan akhirnya mereka masuk Islam sehingga berbahagia dengan surga. Dan termasuk hikmah tatkala orang-orang kafir dari berbagai bangsa tidak bersatu padu dalam satu waktu untuk menyerang kaum muslimin. Tatkala kafir Quraisy memerangi kaum muslimin, maka bangsa Arab lainnya diam menunggu hasil dari Quraisy. Ketika seluruh bangsa Arab dan Yahudi bersekutu memerangi kaum muslimin, maka umat Nasrani diam menunggu hasil peperangan tersebut. Demikian pula tatkala umat Islam berperang melawan Romawi, maka bangsa Persia Majusi diam menunggu hasil peperangan ini hingga semua bangsa dan semua agama ditundukkan oleh kaum muslimin. Firman Allah: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ “Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur).” (QS: Al-Anfal:15) Kemudian sebab terjadinya perang ini adalah Rasulullah Saw mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair kepada Raja Bashra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu (dan berlaku hingga sekarang)bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang. Rasulullah Saw marah akibat tindakan jahat ini, beliau mengirim pasukan perang pada Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah. Sabda Rasulullah Saw “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jjika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.” Ini pertama kali Rasulullah Saw mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu. Pasukan ini berangkat hingga tiba di Ma’an wilayah Syam dan sampai kepada mereka berita bahwa Raja Romawi bernama Heraklius telah tiba di Balqa bersama 100.000 tentara dan bergabung bersama mereka kabilah-kabilah Arab yang beragama Nasrani yang berjumlah 100.000 tentara sehingga total tentara musuh berjumlah 200.000 tentara. Setelah para sahabat bermusyawarah, sebagian mereka mengatakan, “Kita mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menambahkan kekuatan tentara atau memerintahkan kepada kita sesuatu.” Lalu panglima mereka yang ketiga, Abdullah bin Rawahah, menyemangati mereka seraya mengatakan, “Wahai kaum! Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian takutkan sungguh inilah yang kalian cari (yakni) mati syahid. Kita tidak memerangi manusia karena banyaknya bilangan dan kekuatan persenjataan, tetapi kita memerangi mereka karena agama Islam ini yang Allah muliakan kita dengannya. Bangkitlah kalian memerangi musuh karena sesungguhnya tidak lain bagi kita melainkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu menang atau mati syahid Maka sebagian mereka berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah benar.” Lalu mereka berangkat sampai mereka tiba di Balqa tempat musuh berada. Ini munjukka betapa besar keberanian para sahabat dalam jihad memerangi musuh-musuh Allah, semoga Allah melaknat Syi’ah yang mencela para sahabat. Tentara Islam dan tentara kufur saling berhadapan. Perlu kita ketahui, tentara di medan perang dibagi menjadi lima pasukan, yaitu: pasukan depan, belakang, kanan, kiri, dan tengah sebagai pasukan inti. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat banyak mengharuskan seorang tentara dari sahabat melawan puluhan tentara musuh. Akan tetapi, tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak merasakannya sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding sepuluh sebagaimana digambarkan oleh Allah Swt dalam ayat: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ “Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (Q.S Al-Anfal:65) Tentara Allah sebagai wali dan kekasih-Nya yang berperang untuk meninggikan agama-Nya, maka pasti Allah bersama mereka. Adapun orang-orang kafir sebanyak apapun bilangan dan kekuatan mereka, maka ibarat buih yang tidak berarti apa-apa. Peperangan berkecamuk dengan dahsyat. Pusat perhatian musuh tertuju kepada pembawa bendera kaum muslimin dan keberanian para panglima Islam dalam maju memerangi musuh, hingga mati syahidlah panglima pertama, Zaid bin Haritsa radhiallahu ‘anhu. Lalu bendara perang diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib. Beliau berperang habis-habisan hingga tangan kannya terputus, lalu bendera dibawa dengan tangannya kirinya hingga terputus pula dan merangkul bendera dengan dadanya hingga terbunuh. Setelah beliau syahid ditemukan pada tubuhnya terdapat 90 luka lebih antara tebasan pedang, tusukan panah atau tombak yang menunjukkan keberaniannya dalam menyerang musuh. Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid, maka beliau membawa bendera perang. Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka. Setelah berperang lama, Khalid menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir yang akan merugikan Romawi. Dalam perang ini, Khalid berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Maka semoga Allah melaknat orang-orang Syi’ah yang tidak mengakui keutamaan para sahabat. Seandainya Syi’ah mencela seorang saja dari sahabat biasa, sungguh cukuplah sebagai kejelekan mereka, lalu bagaimana jika yang mereka cela adalah kebanyakan sahabat bahkan yang paling utama di antara mereka. Sungguh tidak ada kebaikan yang dilakukan oleh siapa pun kecuali para sahabat merupakan pendahulunya dan mendapat pahalanya. Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya dua belas orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Adapun pasukan musuh tidak dapat dipastikan bilangan mereka yang terbunuh, tetapi diperkirakan sangat banyak. Hal ini dapat diketahui dari hebatnya peperangan yang terjadi. Berakhirnya perang Mu’tah membuat nama Islam dan bangsa Arab menjadi terangkat. Pamor Islam menjadi terangkat dan ditakuti oleh lawan. Hal ini terbukti ketika pasca perang banyak suku-suku yang berbondong-bondong masuk Islam. Mereka demikian kagum dengan kekuatan dan keberanian umat Islam. Betapa tidak, Romawi saja dilawan dan berhasil melakukan perlawanan demikian gigih. Berarti kekuatan Islam perlu diperhitungkan dan hal ini menarik hati sebagian dari mereka untuk memeluk Islam. Keberanian dan kepahlawanan para sahabat dalam perang Mu’tah benar-benar membuat kafir Quraisy heran dan seperti tak percaya. Hal ini karena, di samping jumlah kaum muslimin yang masih sedikit, dan Quraisy mengetahui betul kekuatan kaum muslimin, tetapi Romawi berani dilawannya. Kekuatan kaum muslimin yang demikian kokoh inilah yang mendorong tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Perang Mu’tah benar-benar memberi modal dan spirit umat Islam untuk menjadi bangsa yang besar dan berpengaruh di dunia. Kekuatan Islam itu semakin dianggap besar dan sangat diperhitungkan oleh musuh, ketika wafat mengutus Usamah untuk berangkat melawan Romawi. 2.Fathu Makkah Sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan Rosul yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan terjadinya peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala. Sebab terjadinya Fathu Makkah adalah diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi Saw dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi Saw dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi Saw di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr. Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi Saw, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi Saw. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya dihadapan Nabi Saw. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.” Abu Sufyan berkata, “Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?” Ali menjawab, “Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.” Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata, “Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!” Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi. Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.” Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman, وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ “Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58) Tindakan Quraisy membantu sekutu mereka dalam memerangi sekutu Rasulullah Saw menujukkan bahwa mereka telah melanggar perdamaian Hudaibiyah dan mereka menyadari akan hal ini. Mereka menyesal dan takut kepada Rasulullah dan akibat yang akan timbul dari ulah mereka tersebut. Oleh karena itu, mereka segera mengirim Abu Sufyan (yang waktu itu masih kafir) ke Madinah dengan tujuan untuk memperbarahui akad perdamaian damai. Abu Sufyan berangkat menuju ke Madinah untuk memohan maaf kepada Rasulullah dan memperbaiki perdamaian, tetapi sesampainya di Madinah, ia tidak bertemu langsung dengan Rasululah karena malu dan keberatan. Abu Sufyan menemui Abu Bakar agar beliau menjadi duta atau perantara dirinya dengan Rasulullah , lalu kepada Umar , lalu kepada Ali dan Fatimah, tetapi mereka semua menolak. Sikap para sahabat mulia ini menunjukkan bahwa tidak ada wala’ (loyalitas) dan syafaat buat orang-orang kafir. Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan tatkala sampai di Madinah, masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah istri Rasulullah dan tatkala hendak duduk di tikar, maka Ummu Habibah melipatnya. Tindakan tersebut yang membuat bapaknya heran seraya mengatakan, “Apakah kamu melipat tikar ini karena jelek tidak layak aku duduki ataukah kamu tidak mengizinkan aku karena kehormatan tikar ini?” Maka Ummu Habibah menjawab, “Ini tikar Rasulullah. Ayah tidak pantas mendudukinya sedang ayah seorang musyrik.” Abu Sufyan mengatakan, “Wahai putriku, sekarang kamu menjadi anak yang durhaka setelah pisah dengan orang tuamu.” Kemudian dia keluar menemui Rasulullah Saw dan mengajaknya bicara, tetapi beliau diam tidak menjawabnya sedikit pun. Maka Abu Sufyan kembali ke Mekah dalam keadaan sia-sia dan ini pertanda bahwa Rasulullah Saw tidak memaafkan karena mereka dalam pelanggaran ini Setelah itu, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang sahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi Saw menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada Nabi-Nya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut. Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali r.a berkata “Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah Saw tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.” Setelah tahu kesungguhan Ali r.a, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib. Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab: “Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.” Dengan serta merta Umar bin Khattab menawarkan diri,“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik.” Rasulullah dengan bijak menjawab, “Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.” Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (QS. Al Mumtahanah: 1) Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir. 3.Perang Hunain Ketika Hawazin mengetahui kesuksesan kaum muslimin dalam penaklukan Makkah, mereka khawatir pasukan Nabi Muhammad akan menyerang mereka dan menghancurkan rumah-rumah mereka. Maka sebelum terjadi, mereka berpikir untuk menyerang kaum muslimin lebih dulu dan menyiapkan segala yang dibutuhkannya. Malik bin ‘Auf al-Nashriy mengumpulkan orang-orang Hawazin dan Tsaqif. Dia berjalan membawa pasukannya hingga tiba di Wadi Authas (lembah Authas). Berita ini telah sampai ke telinga kaum muslimin setelah 15 hari dari penaklukan Makkah dan mereka segera bersiap-siap menghadapi kabilah Hawazin dan Tsaqif. Malik rupanya cukup cerdik. Dia memutuskan untuk memerintahkan pasukannya meninggalkan Wadi Authas dan menyingkir ke puncak Hunain di lorong sempit sebuah lembah. Wadi Authas dibiarkan tanpa pertahanan.Di tempat itu, Malik mengatur dan memberikan perintah-perintahnya. Di antara perintahnya adalah jika kaum muslimin tiba di lembah, maka pasukannya harus segera menyerang mereka secara serentak dan memberi pukulan yang mematikan sehingga barisan mereka bubar. Serangan ini diharapkan akan mengacaukan barisan pasukan pemburu dan pemanah sehingga sebagian mereka dengan sebagian yang lain campur aduk dan saling memukul. Di tengah suasana itu, pasukan Malik akan melancarkan serangan gencar dan keras. Malik akhirnya menetapkan strategi ini dan menunggu kedatangan pasukan Islam. Tidak berapa lama pasukan kaum muslimin tiba. Rasululah bergerak dengan membawa 10.000 pasukan yang baru menaklukkan Makkah ditambah 2.000 pasukan dari orang Quraisy yang baru masuk Islam di Makkah. Pasukan besar ini dan sejumlah para pengikutnya bergerak untuk berperang. Mereka tiba di lembah Hunain sore hari, kemudian berencana istirahat di sana hingga menjelang fajar. Akan tetapi, di ujung akhir malam, pasukan bergerak, sementara Rasul yang menunggang bagal putihnya berada di barisan akhir pasukan. Pasukan bergerak menuruni lembah dan tidak merasakan adanya ancaman. Namun, di tengah keheningan itu, tiba-tiba kabilah-kabilah musuh menyerang mereka. Malik bin ‘Auf telah memberi komando kaum prianya untuk menyerang kaum muslimin secara mendadak. Serangan dilancarkan dengan sangat kejam. Kaum muslimin dihujani anak panah. Mereka dalam kegelapan waktu fajar tidak merasakan apa-apa kecuali hujan anak panah yang menimpa mereka dari semua arah. Mereka panik dan bingung karena serangan yang munculnya secara tiba-tiba. Keadaan mereka kacau dan menjadi tumpang. Pasukan Nabi Muhammad mengalami goncangan yang sangat berat. Mereka mundur dalam posisi terus terserang dan meninggalkan medan tanpa menunggu komando apa pun. Ketakutan telah menguasai mereka dan kecemasan menerkam hati mereka. Setiap orang dari mereka takut terhadap musuh. Mereka terpaksa lari meninggalkan Rasul tanpa menunggu perintah. Beliau dibiarkan tertinggal di ujung belakang pasukan. Mereka benar-benar dalam keadaan terserang yang memaksa mereka berlomba-lomba melarikan diri. Tidak ada yang tersisa dan tetap bertahan di medan kecuali Rasulullah dan ‘Abbas serta sekelompok kecil pasukan. Sisa-sisa pasukan yang masih bertahan untuk menemani Rasul terus melakukan perlawanan. Mereka tetap bertahan di tengah kepungan serangan musuh. Rasul berdiri di tengah lingkaran kecil para sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Ansor serta Ahlu Bait (keluarga Rasul). Di tengah penjagaan ketat di tengah segelintir para sahabatnya yang masih memberikan perlawanan sambil bertahan, beliau memanggil-manggil kaum muslimin yang lari. “Di mana orang-orang itu!?” seru Rasul. Akan tetapi, kaum muslimin tidak mendengar panggilan ini. Mereka juga tidak menoleh kepada Nabi karena takut, goncang, dan ngeri akan hantaman maut, apalagi melihat gabungan pasukan Hawazim dan Tsaqif yang masih terus melempari mereka dengan lemparan maut yang amat dahsyat, menikam setiap pasukan yang ditemukan, dan menghujani mereka dengan anak panah. Mereka terus lari dan mundur meninggalkan induk pasukan. Karena itu, wajar jika mereka tidak mendengar pang gilan Rasul dan tidak bisa memenuhinya. Rasulullah pada waktu itu berdiri dan bertahan sendiri (dengan segelintir sahabatnya) dalam keadaan terkucil merupakan posisi yang paling agung sekaligus mengkhawatirkan. Masa dan detik yang dijalaninya adalah masa yang paling mengkhawatirkan dan sulit. Hampir semua pasukannya meninggalkan beliau. Mereka semua lari meninggalkan Rasul dan tidak ada bedanya apakah yang dari kalangan para sahabat yang lama (kecuali beberapa sahabatnya yang militan) ataukah para sahabat yang baru (baru masuk Islam). Akan tetapi, Rasul tidak berputus asa. Beliau terus-menerus memanggil dan mengajak para sahabatnya yang lari agar segera kembali dan turun ke medan laga, namun mereka tidak mendengarkannya. Akan tetapi, pada sisi lain, orang-orang yang baru masuk Islam yang mendengar Muhammad dirajam kepungan bahaya, justru membicarakannya dengan komentar-komentar sinis dan bergembira atas bencana yang menimpa beliau. Mereka ini dan orang-orang yang segolongannya yang mengatakan perkataan-perkataan kejam adalah orang-orang yang berada dalam pasukan kaum muslimin. Mereka berasal dari kalangan orang-orang yang baru masuk Islam di Makkah. Mereka datang berperang bersama Rasulullah, akan tetapi kekalahan (keterdesakan pasukan Islam) menampakkan apa yang disembunyikan jiwa mereka. Berbeda dengan niat ikhlas para sahabat Rasul yang juga sama-sama ikut lari. Demikian itu karena tidak ada cita-cita apapun dalam jiwa mereka untuk kerja mencari sesuatu dalam peperangan. Posisi Rasul benar-benar sulit. Waktu itu adalah waktu yang amat sulit dan dahsyat. Dalam situasi yang begitu sulit dan berat, Rasul memutuskan untuk tetap di medan peperangan dan bahkan terus maju ke medan sambil bertahan dari serangan musuh dengan bagal putihnya. Orang yang bersama beliau adalah pamannya, ‘Abbas bin ‘Abd al-Muththalib, dan Abu Sufyan bin Harits bin ‘Abd al-Muththalib. Abu Sufyan memegang tali kendali bagalnya dan berusaha bertahan. Sedangkan pamannya, ‘Abbas, ikut pula memanggil-manggil dengan suaranya yang lantang yang sekiranya didengar orang dari semua lorong. ‘Abbas meneriakkan suara lantangnya agar mereka segera kembali ke induk pasukan. “Hai kaum Ansor!” teriak ‘Abbas, “Hai orang-orang yang ngobrol!” Abbas mengulang-ulang seruannya hingga gema suaranya dari dinding ke dinding lembah memantul dan mengirimkan gelombang suara yang sahut-menyahut. Sayup-sayup, gema suara itu akhirnya terdengar oleh kaum muslimin yang sedang terpojok kena gempuran musuh. Mereka menjadi ingat Rasulullah. Ingat pada jihad mereka. Terlintas di benak mereka suatu gambaran tentang akibat kekalahan karena serangan kaum musyrik dan akibat kemenangan syirik atas mereka. Akhirnya, mereka menyadari bahwa kekalahan perang ini akan membawa akibat kehancuran agama dan kaum muslimin. Karena itu, mereka berteriak sahut-menyahut dari semua arah untuk menyambut panggilan ‘Abbas. Mereka segera kembali ke induk pasukan dan terjun ke lautan peperangan dan menghangatkan diri dengan apinya dalam keberanian yang tinggi dan jarang ditemui. Mereka berkumpul di seputar Rasul. Jumlah pasukan lambat laun semakin bertambah. Mereka memasuki medan laga dan meladeni perang tanding, melawan musuh, dan memanggang diri di tungku api peperangan. Melihat sambutan ini, Rasul bertambah tenang. Beliau mengambil segenggam pasir, lalu melemparkannya ke wajah musuh seraya mengucapkan, “Syaahatil Wujuuh/Amat buruklah wajah-wajah (kalian)!“Kaum muslimin terus merangsek ke tengah medan dengan menganggap kematian di jalan Allah adalah kenikmatan. Peperangan semakin dahsyat sehingga Hawazin dan Tsaqif yakin bahwa mereka berada di tengah-tengah kebinasaan. Maka, mereka pun melarik an diri dalam keadaan kalah tanpa menunggu waktu. Harta benda dan wanita-wanita mereka ditinggalkan di belakang menjadi harta rampasan perang (ghanimah) kaum muslimin. Pasukan kaum muslimin berusaha memburu mereka dan berhasil menawan mereka dalam jumlah yang cukup besar. Korban terbunuh dari pihak musuh juga besar. Pengejaran dihentikan ketika mereka sampai di Wadi Authas (lembah Authas). Di tempat itu, kaum muslimin masih sempat menewaskan beberapa musuh dan menyerang sisa-sisanya dengan keras. Akan tetapi, komandan mereka, Malik bin ‘Auf, berhasil melarikan diri ke Thaif dan berlindung di sana. Dengan demikian, Allah memenangkan kaum muslimin dengan kemenangan yang semakin menguatkan posisi mereka. Dalam hal ini, Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya Alah telah menolong kamu (hai para mukiminin di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman. Dan, Allah menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir. Dan, demikianlah pembalasan kepada orang-orang kafir” (QS. At-Taubah 25-26). Kaum muslimin memperolah harta ghanimah yang banyak. Jika dihitung menurut ukuran saat ini, jumlahnya 22.l000 unta, 40.000 kambing, dan 4.000 ons perak. Orang-orang musyrik yang terbunuh banyak. Gadis-gadis dan wanita-wanita Hawazin yang tertawan ada 6.000 orang. Mereka diboyong ke Wadi Ji’ranah (lembah Ji’ranah) sebagai tawanan. Sementara korban di pihak kaum muslimin jumlahnya juga tak terhitung karena banyaknya. Kitab-kitab sirah menyebutkan ada dua kabilah kaum muslimin yang musnah. Nabi saw. kemudian melakukan shalat ghaib untuk mereka. Rasulullah saw. meninggalkan ghanimah dan para tawanan ini di Ji’ranah, kemudian dilanjutkan untuk mengepung Thaif, tempat perlindungan Malik bin ‘Auf setelah kekalahannya di Hunaian. Rasul memerintahkan agar kepungan semakin diperketat, namun Thaif bagi Bani Tsaqif adalah kota yang memiliki benteng yang kuat. Penduduknya mempunyai pengetahuan perang untuk menghadapi kepungan. Mereka juga memiliki kekayaan alam yang melimpah. Di samping itu, Tsaqif menguasai teknik melempar tanah dan tombak dengan baik. Dalam peperangan ini, mereka melempari kaum muslimin dengan lembing dan anak panah. Di antara kaum muslimin banyak yang terbunuh. Tidak mudah bagi kaum muslimin untuk menembus pertahanan musuh. Karena itu, mereka mendirikan kemah yang jaraknya cukup jauh dari benteng musuh. Kaum muslimin tinggal di perkemahan itu sambil menunggu apa yang akan diperbuat Allah terhadap mereka. Dan, tidak lama kemudian bantuan datang. Nabi saw. meminta bantuan pada Bani Daus untuk melempari Thaif dengan manjanik. Mereka datang kepada Nabi saw. setelah empat hari dari pengepunangan dengan membawa peralatan senjata. Kaum muslimin menyerang pasukan Thaif dan melemparinya dengan manjanik. Mereka juga mengirimkan senjata sejenis “tank” yang dibawa masuk dari bawah pertahanan musuh. Dengan senjata itu, mereka merangkak, lalu merayap tembok benteng Thaif untuk membakarnya. Sayang, mereka tidak merasa ada potongan-potongan besi yang dipanaskan dengan api dan siap menjebak mereka. Potongan-potongan besi itu benar-benar berhasil menghalau mereka dan membakar dababah (sejenis tank untuk alat merangkak dan merayap tembok) mereka. Mereka lari. Tha’if memanaskan potongan-potongan besi sampai meleleh, kemudian melemparkannya ke dababah sehingga membakarnya. Potongan-potongan besi itulah yang membahayakan kaum muslimin sehingga mereka lari. Ketika mereka lari, Tsaqif masih melempari mereka dengan panah dan banyak di antara mereka yang terbunuh. Dengan demikian, kaum muslimin gagal memasuki Tha’if. Kegagalan ini memaksa kaum muslimin menggunakan taktik baru. Mereka menggunduli kebun-kebun Bani Tsaqif dan membakarnya dengan harapan mereka akan menyerah. Namun, mereka tidak menyerah. Akan tetapi, sebelum serangan berikutnya dilancarkan, bulan haram (bulan-bulan yang dimuliakan suku-suku Arab dan haram di dalamnya melakukan peperangan) telah mulai tiba karena Dzulqa’dah telah tampak. Rasulullah saw. memutuskan kembali dari Tha’if menuju Makkah dan singgah di Ji’ranah, tempat penyimpanan harta ghanimah dan tawanan mereka. Kemudian Malik bin ‘Auf datang menyusul tempat persinggahan Rasul karena beliau telah berjanji kepadanya bahwa jika Malik datang kepada Rasul dalam keadaan muslim, maka beliau mengembalikan harta dan keluarganya serta menambahnya 1.000 unta. Malik datang dengan menyatakan keislamannya. Dia mengambil apa yang dijanjikan Rasul. Hal itu menyebabkan para sahabat khawatir bagian ghanimah mereka akan berkurang jika Rasul tetap memberikannya kepada orang Hawazin itu. Karena itu, mereka menuntut ghanimah segera dibagikan di antara mereka dan masing-masing memaksa untuk mengambil tiap harta fai’-nya (rampasan perang). Mereka saling berbisik-bisik membicarakan persoalan harta ghanimah sehingga bisik-bisik itu sampai terdengar Rasul. Beliau berdiri di samping seekor unta, lalu mengambil selembar bulunya dari bagian punuk dan meletakkannya di antara kedua jarinya, kemudian menariknya seraya bersabda, “Hai manusia! Demi Allah, tidaklah aku menguasai (memonopoli) sebagian dari harta jarahan (fai’) kalian dan tidak juga selembar bulu unta ini kecuali seperlimanya. Yang seperlima dikembalikan kepada kalian. Maka, penuhilah penjahit dan yang dijahit. Sesungguhnya khianat pada keluarga amat memalukan. Dia pasti akan terkena api dan air neraka pada hari kiamat.” Beliau memerintahkan tiap sahabat mengembalikan apa yang telah diambilnya dari harta ghanimah sehingga harta tersebut terbagi dengan adil. Kemudian beliau membaginya menjadi lima bagian. Seperlimanya dipisahkan untuk dirinya sendiri dan sisanya (empat per lima) dibagikan kepada para sahabatnya. Tiap-tiap bagian, beliau berikan kepada Abu Sufyan dan anaknya, Mu’awiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin ‘Amru, Huwaithab bin ‘Abd al-‘Uzza, Hakim bin Hizam, al-‘Alla bin Jariyah (lima orang yang terakhir ini adalah dari bani Tsaqif), ‘Uyayyinah bin Hashan, Aqra’ bin Habis, Malik bin ‘Auf an-Nashariy, dan Shafwan bin Umayyah. Masing-masing orang diberi 100 unta sebagai tambahan atas bagian mereka sekaligus sebagai pengikat dan penyejuk hati mereka (sebagai bagian dari mu’allaf). Beliau juga memberikan 50 ekor unta kepada orang-orang selain mereka (mu’allaf) sebagai tambahan bagian mereka. Beliau telah memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu’allaf. Dalam pembagian harta ghanimah ini, beliau berada dalam puncak kedermawanan dan kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan sikap politisnya. Akan tetapi, sebagian kaum muslimin masih ada yang tidak mengetahui hikmah kemuliaan dan pembagian Rasul ini. Perbuatan beliau sempat membuat kaum Ansor saling membicarakannya di antara sesama mereka. Mereka berkata kepada sesama kaum mereka, “Demi Allah, Rasulullah telah menemui (bergabung dengan) kaumnya!” Perkataan itu berpengaruh pada jiwa mereka. Sa’ad bin Ubadah yang juga ikut menggunjingkan kebijakan Rasul ini, perkataannya sampai terdengar beliau, Lalu beliau bertanya, “Di manakah posisimu mengenai hal itu, hai Sa’ad?!” “Tidak lain saya menjadi bagian dari kaumku, wahai Rasul,” jawab Sa’ad. Dia bahkan mendukung perkataan kaumnya. “Kalau begitu, kumpulkan kaummu untukku di tempat ini!” pinta Rasul pada Sa’ad. Sa’ad kemudian mengumpulkan mereka, lalu Rasul berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini. “Hai orang-orang Ansor,” sapa Rasul, “ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian dalam keadaan tersesat lalu Allah memberi kalian hidayah, dalam keadaan kekurangan lalu Allah mengayakan kalian, dan dalam keadaan saling bermusuhan lalu Allah mempersatukan hati kalian.” “Benar, Allah dan Rasul-Nya lebih memberi keamanan dan lebih utama,” jawab mereka serempak. “Mengapa kalian tidak menjawabku, hai orang-orang Ansor?!” tanya Rasul kemudian. “Dengan apa kami harus menjawabmu, wahai Rasulullah?” kata mereka. “Hanya milik Allah dan Rasul-Nya segala anugerah dan keutamaan,” tambah mereka.Rasulullah kemudian melanjutkan sabdanya, “Demi Allah, seandainya kalian menghendaki, pasti kalian akan mengatakan, membenarkan, dan membenarkan! Engkau datang kepada kami dalam keadaan dibohongi, lalu kami membernarkanmu, dalam keadaan terlonta-lonta lalu kami menolongmu, dalam keadaan terbuang lalu kami memberi perlinungan kepadamu, dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Ansor, apakah kalian menemukan dalam diri kalian kelunakan pada dunia yang saya harus menyatukan kalian dengannya menjadi suatu kaum agar selamat dan saya menyerahkan kalian pada Islam kalian. Hai orang-orang Ansor, apakah kalian tidak ridha terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan unta, sementara kalian kembali pada kendaraan kalian dengan Rasulullah? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti saya menjadi orang di antara kaum Ansor. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan oang-oang Ansor ke bukit yang lain, pasti saya berjalan di bukit kaum Ansor. Ya Allah, rahamatilah kaum Ansor, anak-anak kaum Ansor, anak-anak dari anak-anak kaum Ansor …” Belum habis pidato Rasul ini, kaum Ansor menangis dengan tangis yang keras dan menyayat hati hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. “Kami lebih ridha dengan Rasulullah sebagai bagian (kami),” jawab mereka dengan air mata yang masih membasah. Kemudian mereka kembali ke kemah-kemah dan kendaraan mereka Setelah itu, Rasulullah saw. keluar dari Ji’ranah menuju Makkah dalam keadaan ihram untuk umrah. Beliau berangkat dengan pasukannya. Setelah selesai melakukan umrah, beliau mengangkat ‘Utab bin Usaid menjadi Gubernur Makkah, sementara Mu’adz bin Jabal ditunjuk sebagai guru yang akan membina penduduk Makkah dan memberi pemahaman mereka tentang Islam. Kemudian beliau bersama kaum Ansor dan Muhajirin kembali ke Madinah.
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.