APAKAH
IBNU SHAYYAD ITU DAJJAL YANG BASER ITU ?
Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA
Dalam pembicaraan di muka mengenai
hal ikhwal Ibnu Shayyad dan pengujian Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
terhadapnya, beliau bersikap tawaqquf (berdiam diri) mengenai masalah Ibnu
Shayyad, karena beliau tidak mendapatkan wahyu yang menerangkan apakah Ibnu
Shayyad itu Dajjal atau bukan.
Umar Radiyallahu anhu pernah
bersumpah di sisi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Ibnu Shayyad adalah
Dajjal, dan beliau tidak mengingkarinya.
Sebagian sahabat juga berpendapat seperti pendapat Umar sebagaimana diriwayatkan dari Jabir, Ibnu Umar, dan Abu Dzar.
Sebagian sahabat juga berpendapat seperti pendapat Umar sebagaimana diriwayatkan dari Jabir, Ibnu Umar, dan Abu Dzar.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir [1] dia berkata, “Saya melihat Jabir
bin Abdullah bersumpah dengan nama Allah bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Saya
bertanya (kepadanya), Anda bersumpah dengan nama Allah?” Dia menjawab, “Saya
mendengar Umar bersumpah begitu di sisi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
tetapi beliau tidak mengingkarinya.” [Shahih Bukhari, Kitab Al-l'tisham
bil-Kitab Was sunnah, Bab Ban Ra-aa Tarkan Nakir Min an- Nabiyyi saw Hujjatan
Laa min Ghairi Rasul 13: 223; dan. Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis
Sa'ah. Bab Dzikri Ibni Shayyad 18: 52-53]
Dari Zaid bin Wahab [2] ia berkata,
“Abu Dzar berkata, “Sungguh, jika saya bersumpah sepuluh kali bahwa Ibnu Shaid
adalah Dajjal lebih saya sukai daripada bersumpah satu kali bahwa dia bukan
Dajjal.” [Hadits Riwayat Imam Ahmad]
Dari Nafi, ia berkata, “Ibnu Umar
pernah berkata, “Demi Allah, saya tidak ragu-ragu bahwa Al-Masih Ad-Dajjal
adalah Ibnu Shayyad.” [Sunan Abi Daud, Ibnu Hajar berkata, "Sanadnya
shahih." Fathul-Bari 13: 325]
Dan diriwayatkan dari Nafi pula, ia
berkata, “Ibnu Umar pernah bertemu Ibnu Shaaid di suatu jalan kota Madinah,
lalu ia mengucapkan kata-kata yang menjadikannya marah dan.naik pitam hingga
membuat ribut di jalan. Lantas Ibnu Umar datang kepada Kafshah sedang berita
itu telah sampai pula kepadanya, kemudian Hafshah berkata kepadanya,
“Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadamu. Apakah yang engkau harapkan dari
Ibnu Shaaid? Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Sesungguhnya dia keluar dari
kemarahan yang dibencinya.” [Shahih Muslim 18:57]
Dan dalam satu riwayat lagi dari
Nafi’, ia berkata, “Ibnu Umar berkata, “Saya pernah bertemu Ibnu Shaaid (Ibnu
Shayyad) dua kali. Setelah saya bertemu yang pertama kali, saya bertanya kepada
beberapa orang, “Apakah Anda mengatakan bahwa dia itu Dajjal?” Jawabnya,
“Tidak, demi Allah.” Semua berkata, “Anda berdusta. Demi Allah, sebagian Anda
telah memberitahukan kepadaku bahwa dia tidak akan mati sehingga menjadi orang
yang paling banyak harta dan anaknya. Dan demikianlah anggapan mereka hingga
hari ini. Lantas kami berbincang-bincang, kemudian kami berpisah. Kemudian
bertemu lagi sedangkan sebelah matanya telah buta, lalu saya bertanya, “Sejak
kapan mata Anda demikian?” Dia menjawab, “Tidak tahu.” Saya bertanya, “Apakah
Anda tidak tahu padahal mata itu ada di kapala Anda sendiri?” Dia berkata,
“Jika Allah menghendaki, Dia menciptakan yang demikian ini pada tongkatmu.”
Lalu dia mendengus seperti dengus himar. Kemudian sebagian sahabat saya
menganggap bahwa saya telah memukulnya dengan tongkat saya sehingga matanya
cidera, padahal demi Allah saya tidak merasa (berbuat) sama sekali.”
Setelah itu Ibnu Umar datang kepada
Ummul Mukminin dan bercakap-cakap dengannya, lalu Ummul Mukminin berkata, ” Apa
yang engkau inginkan darinya? Tidakkah engkau tahu bahwa ia pernah berkata,
“Sesungguhnya pertama kali yang mengutusnya (membangkitkannya) kepada manusia
ialah kemarahan.” [Al-Kahfi. 57-58]
Ibnu Shayyad mendengar apa yang
diperbincangkan orang mengenai dirinya dan dia sangat terganggu karenanya, oleh
sebab itu dia membela diri bahwa dia bukan Dajjal dengan argumentasi bahwa
identitas Dajjal seperti yang dikemukakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam itu tidak cocok diterapkan pada dirinya.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita, katanya. “Kami pernah melakukan
haji atau umrah bersama Ibnu Shayyad (Ibnu Shaaid), lalu kami berhenti di suatu
tempat dan orang-orang pun berpencar hingga tinggal saya dan Ibnu Shaaid. Saya
merasa sangat ketakutan kepadanya, mengingat apa yang dikatakan orang tentang
dia. Dia membawa perbekalannya dan meletakkannya bersama perbekalanku. Lalu
saya berkata. “Sesungguhnya hari sangat panas. sebaiknya engkau letakkan di
bawah pohon itu.” Lalu ia melaksanakannya. Lantas kami dibawakan kambing. lalu
ia mengambil mangkok besar seraya berkata, “Minumlah, wahai Abu Sa’id’” Saya
jawab, “Sesungguhnya hari amat panas, dan susu itu juga panas.” Saya berkata
demikian itu hanya karena saya tidak suka minum sesuatu dari tangannya atau
mengambil sesuatu dari tangannya. Ia berkata, “Wahai Abu Sa’id, ingin rasanya
aku mengambil tali lantas kugantungkan pada pohon, lalu kucekik leherku karena
kekesalan hatiku terhadap apa yang dikatakan orang banyak mengenai diriku.
Wahai Abu Sa’id, kalau orang-orang kesamaran terhadap hadits Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam maka tidaklah ada kesamaran atas kalian kaum
Anshar. Bukankah engkau termasuk orang yang paling tahu tentang hadits
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu mandul, tidak punya anak,
sedangkan saya punya anak yang saya tinggalkan di Madinah? Bukankah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu tidak bisa
memasuki kota Madinah dan Makkah, sedang saya datang dari Madinah dan hendak
menuju ke Makkah?”
Kata Abu Sa’id, “Begitulah, hingga
aku hampir menerima alasannya.” Kemudian Ibnu Shaaid, “Ingatlah, demi Allah,
Sesungguhnya saya mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya serta
mengetahui di mana ia sekarang berada.” Abu Sa’id berkata: Saya berkata
kepadanya, “Celakalah engkau pada hari-harimu.” [Shahih Muslim 18:51-52]
Dan dalam suatu riwayat Ibnu Shayyad
berkata, “Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya saya mengetahui di mana sekarang
dia (Dajjal) berada, dan saya juga mengetahui tempat kelahirannya serta
mengetahui di mana ia sekarang berada.” Abu kau senang jika laki-laki itu
adalah engkau?” Dia menjawab, “Kalau disindirkan kepadaku, maka aku tidak
benci.” [Shahih Muslim 18: 51]
Dan masih ada beberapa riwayat lagi
tentang Ibnu Shayyad yang sengaja tidak saya sebutkan karena takut terkesan
terlalu panjang, dan lagi karena beberapa orang muhaqqiq seperti Ibnu Katsir,
Ibnu Hajar, dan lain-lainnya menolaknya karena kelemahan sanadnya. [Periksa:
An-Nihayah (Al-Fitan wal Malahim) karya Ibnu Katsir dengan tahqiq DR. Thaha
Zaini; dan Fathul-Bari karya Ibnu Hajar 13; 326]
Timbul kemusykilan di kalangan para
ulama mengenai masalah Ibnu Shayyad ini, sebagian mereka mengatakan bahwa Ibnu
Shayyad adalah Dajjal dan mereka beralasan dengan sumpah beberapa orang sahabat
bahwa dia adalah Dajjal beserta kondisinya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu
Umar dan Abu Sa’id ketika sedang bersamanya. Dan sebagian lagi berpendapat
bahwa dia bukan Dajjal dengan mengemukakan alasan hadits Tamim Ad-Dari.
Dan sebelum saya kemukakan perkataan
kedua belah pihak secara lengkap, baiklah saya bawakan hadits Tamim seutuhnya:
Imam Muslim meriwayatkan dengan
sanadnya dari Amir bin Syurahil Asy-Sya’bi suku Hamdan, bahwa ia pernah
bertanya kepada Fatimah binti Qais, saudara wanita Adh-Dhahhak bin Qais, salah
seorang muhajirah (peserta hijrah wanita) angkatan pertama. Amir berkata kepada
Fatimah, “Sampaikanlah kepadaku sebuah hadits yang engkau dengar Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui orang lain.” Fatimah menjawab,
“Jika engkau menginginkan akan saya lakukan.” Amir berkata, “Benar,
ceritakanlah kepadaku.” Fatimah berkata, “Dahulu saya kawin dengan Ibnul
Mughiroh, salah seorang pemuda Quraisy yang baik pada waktu itu, lalu ia gugur
dalam jihad pertama bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
saya menjanda, saya dilamar oleh Abdur Rahman bin Auf, salah seorang kelompok
sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam meminangku untuk mantan
budaknya yang benama Usamah bin Zaid, sedang saya pernah mendapat berita bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Barangsiapa yang mencintai aku
hendaklah ia mencintai Usamah.”
Maka ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyampaikan pinangannya kepada saya, saya berkata, “Urusanku
berada di tanganmu, karena itu nikahkanlah saya dengan siapa saja yang engkau
kehendaki.” Lalu beliau bersabda, “Pindahlah ke rumah Ummu Syarik.” Dan Ummu
Syarik ini adalah seorang wanita yang kaya dari kalangan Anshar yang suka
melakukan infaq di jalan Allah dan biasa dikunjungi tamu-tamu. Lalu saya
berkata, “Akan saya laksanakan.” Kemudian beliau bersabda, “Jangan lakukan,
sesungguhnya Ummu Syarik itu seorang wanita yang sering didatangi tamu-tamu,
dan aku tidak suka kerudung (jilbab)mu terlepas atau pakaianmu terbuka dan
tampak betismu, lalu dilihat oleh kaum itu apa yang tidak engkau sukai.
Tetapi berpindahlah ke rumah putra
pamanmu yaitu Abdullah bin Amr Ibnu Ummi Maktum” (seorang lelaki dari Bani
Fihr, yaitu Fihr Quraisy, yang dari kalangan merekalah Abdullah dan Fatimah ini
dilahirkan). Lalu saya -kata Fatimah melanjutkan- pindah ke sana. Ketika masa
‘iddah ku telah habis, saya mendengar tukang seru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyerukan Ash-Sholaatu Jaami ‘ah (Shalatlah dengan berjama’ah). Lalu
saya pergi ke masjid dan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan saya berada di shaf wanita yang ada di belakang shaf laki-laki.
Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam usai melakukan shalat, beliau duduk di atas mimbar sambil
tersenyum seraya berkata, “Hendaklah tiap-tiap orang tetap berada di tempat
shalatnya.” Kemudian beliau melanjutkan, “Tahukah kamu, mengapa saya kumpulkan
kamu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengerti.” Beliau
bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengumpulkan kalian karena senang
atau benci. Aku kumpulkan kalian karena Tamim Ad-Dari, seorang pengikut
Nasrani, telah berbai’at masuk Islam dan dia bercerita kepadaku tentang suatu
masalah yang sesuai dengan apa yang pernah aku sampaikan kepada kalian mengenai
Masih Ad-Dajjal.
la bercerita bahwa ia pernah naik
perahu bersama tiga puluh orang yang terdiri atas orang-orang yang berpenyakit
kulit dan lepra. Lalu mereka dihempas ombak selama sebulan di laut, kemudian
mereka mencari perlindungan ke sebuah pulau di tengah lautan hingga sampai di
daerah terbenamnya matahari. Lantas mereka menggunakan sampan kecil dan
memasuki pulau tersebut. Di sana mereka berjumpa seekor binatang yang bulunya
sangat lebat hingga tak kelihatan mana qubulnya dan mana duburnya, karena lebat
bulunya. Mereka berkata kepada binatang itu, “Busyet kamu! Siapakah kamu?”
Binatang itu menjawab, “Aku adalah Al-Jassasah.” Mereka bertanya, “Apakah
Al-Jassasah itu?” Dia menjawab. “Wahai kaum, pergilah kepada orang yang berada
di dalam biara ini, karena ia sangat merindukan berita kalian.” Kata Tamim.
“Ketika binatang itu menyebut seseorang, kami menjauhinya, karena kami takut
binatang itu adalah syetan.
Lalu kami berangkat cepat-cepat
hingga kami memasuki biara tersebut, tiba-tiba di sana ada seorang laki-laki
yang sangat besar tubuhnya dan tegap, kedua tangannya dibelenggu ke kuduknya,
antara kedua lututnya dan mata kakinya dirantai dengan besi. Kami bertanya,
“Siapakah engkau ini?” Dia menjawab, “Kalian telah dapat menguak beritaku,
karena itu beritahukanlah kepadaku siapakah sebenarnya kalian ini?” Mereka
menjawab. Kami adalah orang-orang dari Arab. Kami naik perahu dan kami
terkatung-katung di laut dipermainkan ombak selama satu bulan, kemudian kami
mencari tempat berlindung ke pulaumu ini dengan menaiki sampan kecil yang ada
di sini lantas kami masuk pulau ini, dan kami bertemu seekor binatang yang
bulunya sangat lebat hingga tidak kelihatan mana qabulnya dan mana duburnya
karena lebat bulunya.
Lalu kami bertanya, “Busyet kamu,
siapakah kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah Al-Jassasah.” Kami bertanya, “Apakah
Al-Jassasah itu?” Dia menjawab, “Pergilah kepada lelaki ini di dalam biara,
karena dia sangat merindukan berita kalian.” Lalu kami bergegas menemui dan
meninggalkan dia, dan kami merasa tidak aman jangan- jangan dia itu syetan.”
Dia (lelaki itu) berkata, “Tolong kabarkan kepada kami tentang desa Nakhl
Baisan.” Kami bertanya, “Tentang apanya?” Dia berkata, “Tentang kurmanya,
apakah berbuah?” Kami menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya
pohon-pohon kurmanya itu akan tidak berbuah lagi.” Dan dia bertanya lagi,
“Tolong beritahukan kepadaku tentang danau Ath-Thabariyah.” Kami bertanya,
“Tentang apanya?” Dia bertanya, “Apakah ada airnya?” Kami menjawab, “Airnya
banyak sekali.” Dia berkata, “Ketahuilah sesungguhnya airnya akan habis.”
Selanjutnya dia berkata lagi, “Kabarkan kepadaku tentang negeri ‘Ain Zughor.”
Kami bertanya, “Tentang apanya?” Dia menjawab, “Apakah sumbernya masih
mengeluarkan air yang dapat digunakan penduduknya untuk menyiram tanamannya?”
Kami menjawab, “Airnya banyak sekali, dan penduduknya menggunakannya untuk
menyiram tanaman mereka.” Dia berkata lagi, “Tolong beritahukan kepadaku
tentang Nabi orang ummi, apakah yang dilakukannya?” Kami menjawab, “Beliau
telah berhijrah meninggalkan Makkah ke Yatsrib.” Dia bertanya, ” Apakah
orang-orang Arab memeranginya?” Kami menjawab, “Ya.” Dia bertanya lagi, “Apakah
yang dilakukannya terhadap mereka?” Lalu kami beritahukan bahwa beliau menolong
orang-orang Arab yang mengikuti beliau dan mereka mematuhi beliau.” Dia
bertanya, ” Apakah benar demikian?” Kami menjawab, “Benar.” Dia berkata,
“Ketahuilah bahwasanya Iebih baik bagi mereka untuk mematuhinya. Dan perlu saya
beritahukan kepada kalian bahwa saya adalah Al-Masih (Ad- Dajjal), dan saya
akan diizinkan keluar. yang nantinya saya akan berkelana di muka bumi, maka
tidak ada satu pun desa melainkan saya singgahi selama empat puluh malam
kecuali Makkah dan Thaibah (Madinah), karena kedua kota ini diharamkan atas
saya. Setiap saya hendak memasuki salah satunya, saya dihadang oleh seorang
malaikat yang menghunus pedang, dan pada tiap-tiap lorongnya ada malaikat yang
menjaganya.”
Fatimah berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda sembari mencocokkan (menusukkan)
tongkat kecilnya di mimbar, ” inilah Thaibah. inilah Thaibah, inilah Thaibah,”
yakni Madinah. “Ingatlah. Bukankah aku telah memberi tahukan kepadamu mengenai hal
itu?” Orang-orang menjawab “ya” selanjutnya beliau bersabda, ,”Saya heran
terhadap cerita Tamim yang sesuai dengan apa yang telah saya ceritakan kepada
kalian, juga tentang kota Madinah dan Makkah. Ketahuilah bahwa dia berada di
laut Syam atau laut Yaman. Oh tidak, tetapi dia akan datang dari arah timur…
dari arah timur… dari arah timur…” dan beliau berisyarat dengan tangan beliau
menunjuk ke arah timur. Fatimah berkata. “Maka saya hafal ini dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Shahih Muslim 18: 78- 83]
Ibnu Hajar berkata, “Sebagian ulama
beranggapan bahwa hadits Fatimah binti Qais ini sebagai hadits gharib yang
hanya diriwayatkan oleh perseorangan, padahal sebenarnya tidak demikian. Hadits
ini di samping diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga diriwayatkan dari Abu
Hurairah, Aisyah. Dan Jabir radhiyallahu ‘anhum.” [Fathul-Bari 13: 328]
[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah
edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf
Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Al-Munkadir bin Abdullah bin Hudair bin Abdul Uzza At-Taimin, seorang tabi’i dan salah seorang Imam yang alim, meriwayatkan hadits dari para sahabat, wafat pada thun 131H [Tahdzibut Tahdzib 9 : 473-475]
[2]. Daia adalah Abu Sulaiman Zaid bin Wahab Al-Juhami Al-Kufi, meriwayatkan hadits dari banyak sahabat seperti Umar, Utsman, Ali, Abu Dzar dan lain-lainnya. Dia seorang terpercaya yang banyak meriwayatkan hadits, wafat tahun 96H [Tahdzibut Tahdzib 3 : 427]
_________
Foote Note
[1]. Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Al-Munkadir bin Abdullah bin Hudair bin Abdul Uzza At-Taimin, seorang tabi’i dan salah seorang Imam yang alim, meriwayatkan hadits dari para sahabat, wafat pada thun 131H [Tahdzibut Tahdzib 9 : 473-475]
[2]. Daia adalah Abu Sulaiman Zaid bin Wahab Al-Juhami Al-Kufi, meriwayatkan hadits dari banyak sahabat seperti Umar, Utsman, Ali, Abu Dzar dan lain-lainnya. Dia seorang terpercaya yang banyak meriwayatkan hadits, wafat tahun 96H [Tahdzibut Tahdzib 3 : 427]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar