Pendidikan
sebagai suatu sistem merupakan satu kesatuan dari beberapa unsur dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Unsur-unsur tersebut saling
berhubugan dan saling bergantung dalam mencapai tujuan. Salah satu unsur
tersebut adalah kurikulum, baik kurikulum di zaman klasik maupun kurikulum
modern.
Kurikulum
dalam pendidikan Islam pada zaman dahulu tentunya tidak sama dengan kurikulum
modern. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan
hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan di sekolah.[1] Pada
lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk mempelajari sejumlah bidang
studi yang ditawarkan oleh lembaga. Disamping itu, siswa juga diwajibkan
mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman
belajar.
Pada awal
Islam, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan
mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya
penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi
tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang
lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar
baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum
dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang
studi tertentu. Namun seiring perkembangan social dan kultural, materi
kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran
berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak,
dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.[2] Setelah
wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat
non-Islam yang menyebabkan permasalahan social semakin komples. Problem social
tersebut pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan dan
intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam.
Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa
situasi lain bagi kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru
seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi,
Astronomi dan Kedokteran.[3]
Penelitian
ini mengambil setting bentuk kurikulum pada masa Dinasti Abbasiyah (132-656
H/750-1258 M) terutama pada masa khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/876-809
M), dengan alasan bahwa pada masa dinasti Abbasiyah berada pada masa puncak
kejayaan Islam dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya. Alasan kedua
karena pada masa dinasti Abbasiyah khususnya pada masa khalifah Harun al-Rasyid
pengembangan ilmu pengetahuan betul-betul diperhatikan, salah satu buktinya
dengan didirikannya kuttabsebagai pendidikan dasar dan Bait
al-Hikmah, yang kemudian dilanjutkan oleh khalifah al-Makmun
Sejarah Singkah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan
dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah. Dinamakah khilafah Abbasiyah karena pendiri dan penguasa dinasti ini
adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan
oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas.
Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu antara tahun 132-656 H/750-1258 M.[4] Selama
dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani
Abbas menjadi lima periode:[5]
1. Periode Pertama (132H/750 M – 232 H/847
M), disebut periode pengaruh Persia pertama
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334H/945
M), disebut masa pengaruh Turki pertama
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055
M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintah khalifah Abbasiyah. Periode
ini disebut juga masa pengaruh Persi kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590
H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah,
masa ini disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656
H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Secara umum faktor-faktor berdirinyan
daulah Abbasiyah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Banyak terjadi
perselisihan intern antara Bani Umayyah pada dekade tahun pemerintahannya.
2. Pendeknya masa
.jabatan Khalifah diakhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, seperti khalifah
Yazid bin Al-Walid yang memerintah sekitar 6 bulan.
3. Jumlah putra
mahkota lebih dari 1 orang seperti yang dilakukan oleh Marwan bin Muhammad yang
menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota.
4. Bergabungnya
sebagian afrad keluarga Umayyah kepada mazhab-nmazhab yang tidak benar menurut
syari’ah.
5. Hilangnya
kecintaan rakyat pada akhir-akhir pmerintahan Bani Umayyah.
6. Kesombongan
pembesar-pembesar Bani Umayyah pada ahkuir pemerintahannya.
7. Timbulnya
dukungan dari Al-Mawali (non Arab)[6]
Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para
khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode
ini juga berhasil menyipakan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan Islam. Namun, periode ini sangat singkat hanya empat tahun.
Popularitas
daulat Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Menurut as-Sayuti bahawa zaman
pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid seluruhnya merupakan zaman yang penuh
dengan kabaikan, semuanya indah seperti pengantin-pengantin baru.[7] Kekeyaan
banyak dimanfaatkan oleh Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan, disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi
terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya.
Al-ma’mun sebagai pengganti Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang cinta
ilmu pengetahuan, sehingga pada masa pemerintahannya penerjrmahan buku-buku
asing digalakkan. Beliau juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan bait al-Hikmahsebagai
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang terbesar. Pada masa al-Ma’mun inilah Bagdad menjadi pusat ilmu
pengetahuan.
Pengertian Kurikulum
Secara umum
kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Pengertian ini dianggap masih tradisional dan masih banyak dianut sampai
sekarang. Dalam perkembangan kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan,
timbul berbagai difenisi lain. Seperti yang diungkapkan oleh
Saylor dan Alexander sebagaimana dikutip M. Ahmad kurikulum sebagai “the
total effort of the school to going about desired outcomes in school and
out-of-school situation.[8]
Dari
pengertian diatas kurikulum tidak hanya sekedar mata pelajaran, tetapi segala usaha sekolah untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, baik situasi di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Secara etimologi kurikulum
berasal dari bahasa Yunani “currere” yang mula-mula digunakan dalam
bidang olahraga yang berarti jarak tempuh lari. Dalam
kegiatan berlari tentu saja ada jarak yang harus ditempuh mulai start sampai
dengan finish. Jarak dari start sampai dengan finish ini disebut currere.
Istilah
kurikulum semula berasal dari istilah dari dunia atletik yaitu currere yang
berarti berlari. Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata curier yang
berarti penghubung seseorang untuk menyampaikan sesuatu kepada orang atau
tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai
tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan sebagai jarak yang harus
ditempuh.[9] Dari istilah atletik, kurikulum
mengalami pergeseran arti ke dunia pendidikan, misalnya pengertian kurikulum yang tercantum dalam Webster’s International
Dictionary “curriculum: course a specified fixed course of study, as in a
school or college, as one leading to a degree”.
Kuikulum diartikan sebagai
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dikuasai untuk mencapai suatu
tingkat tertentu atau ijazah. Disamping itu, kurikulum juga diartikan sebagai
suatu rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan. Itulah sebabnya, pada masa klasik kurikulum disebut
dengan istilah rencana pelajaran.
Konsep
kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan
dan banyak pakar pendidikan yang mendefinisikan kurikulum sesuai dengan aliran
atau teori pendidikan yang dianutnya. Berikut ini adalah definisi kurikulum
menurut para ahli pendidikan, yaitu:
Menurut John
Dewey kurikulum merupakan suatu rekonstruksi berkelanjutan yang mamaparkan
pengalaman belajar anak didik melalui suatu susunan pengetahuan yang
terorganisasikan dengan baik.
Menurut Raph
Tyler kurikulum adalah seluruh pengalaman belajar yang direncanakan dan
diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut Hilda Taba
kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat umum
dan khusus dan materinya dipilih dan diorganisasikan berdasarkan suatu pola
tertentu untuk kepentingan belajar dan mengajar.
Menurut
Robert Gagne kurikulum adalah suatu rangkaian unit materi belajar yang
direncanakan sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mempelajarinya
berdasarkam kemampuan awal yang dimilliki/dikuasainya.
Dari
definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu berisi bahan yang
disajikan (materi pelajaran), pengalaman belajar, tujuan yang ingin dicapai,
kegiatan pengajaran dan rencana yang terorganisir.
Bentuk-Bentuk
Kurikulum
Para
pendidik berbeda pendapat tentang pola pengembangan kurikulum dan pola
penyusunan materi pelajaran. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat
mereka tentang tujuan, makna dan metode pendidikan. Dalam pengembangan
kurikulum dan penyusunan materi pelajaran ada beberapa bentuk kurikulum, yaitu: Separate-Subject
Curriculum, Correlated Curriculum Dan Integrated Curriculum.[10]
1.
Separate-Subject Curriculum
Kurikulum
yang disusun dalam bentuk ini menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk
subjek-subjek atau mata pelajaran tertentu. Tiap mata pelajaran tersebut satu
dengan yang lain bersifat terpisah-pisah dan tidak dikaitkan. Dalam kurikulum
ini setiap materi pelajaran mempunyai eksistensi sendiri dengan perangkat
pengetahuan yang benar-benar terpisah dari materi dan pengetahuan yang lain.
Kurikulum
yang disusun dalam bentuk terpisah-pisah itu lebih bersifat subject-centered,
berpusat pada bahan pelajaran dan mengabaikan minat dan keinginan siswa.
Kurikulum ini disusun berdasarkan teori habitus, yang beranggapan bahwa
keperibadian siswa itu dapat terbentuk berdasarkan potongan-potongan
pengetahuan. Berdasarkan pandangan tersebut, kepribadian yang utuh dapat
dibentuk berdasarkan sejumlah pengetahuan yang diperoleh secara terpisah.
2.
Correlated Curriculum
Bentuk
kurikulum ini dibuat bedasarkan sebuah pandangan psikologis yang menggantikan
teori sebelumnya dan munculllah teori asosiasi. Menurut teori asosiasi bahwa
akal manusia tersusun dari interkorelasi dan interaksi antar-berbagai
pengetahuan, dan pengetahuan yang baru pasti bertalian dengan pengalaman dan
pengetahuan terdahulu.[11] Kurikulum
dengan bentuk ini menyajikan berbagai materi pelajaran seakan-akan merupakan
mata rantai yang saling terkait.setiap mata rantai darinya harus bertalian
dengan yang sebelumnya atau dibangaun atas suatu rantai yang sebelumnya. Oleh
sebab itu dalam setiap pengajaran terlebih dahulu harus dimulai dengan
mengingat kembali pelajaran-pelajaran yang telah lalu.
3.
Integrated Curriculum
Berbeda
halnya dengan kurikulum bentuk correlated subject yang hanya
menghubungkan antara beberapa mata pelajaran yang masing-masing masih mempertahnkan
efisiensinya, kurikulum bentuk intregated ini benar-benar
menghilangkan batas-batas di antara berbagai mata pelajaran ini. Mata pelajaran
itu dilebur menjadi satu keseluruhan dan disajikan dalam bentuk unit. Misalnya
mata pelajaran ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, sejarah dilebur
menjadi satu mata pelajaran yaitu pelajaran ilmu pengetahuan sosial.
Kurikulum
Pendidikan Islam
1.
Prinsip-Prinsip Kurikulum Islam
Ada empat
model konsep kurikulum, yaitu kurikulum subjek akademik yang lahir dari teori
pendidikan klasik, kurikulum humanistik yang lahir dari teori pendidikan
kepribadian, kurikulum teknologis yang lahir dari teori pendiduikan teknologis
dan kurikulum rekonstruksi social yang lahir dari teori pendidikan
interaksional.[12] Sistem
pendidikan Islam menuntut pengkajian kurikulum yang Islami, yang tercermin dari
sifat dan karakteristiknya. Kurikulum yang seperti akan terpenuhi apabila mengacu
pada dasar pemikiran yang Islami pula. Untuk memenuhi kriteria tersebut, suatu
kurikulum yang Islami perlu memperhatikan hal-hal berikut:[13] Sistem
dan perkembangan kurikulum tersebut harus hendaknya selaras dengan fitrah
insani sehingga memiliki peluang untuk menyucikan, menjaganya dari penyimpangan
dan menyelamatkan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya
sebagai berikut:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan beragama Yahudi, Nasrani
atau Mahusi…………” (al-Hadits)
a.
Kurikulum hendaknya diarahkan
untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat dan beribadah
kepada Allah SWT.
b.
Pentahapan serta pengkhususan
kurikulum hendaknya memperhatikan periodisasi perkembangan peserta didik maupun
unisitasnya seperti karakteristik ke-anak-an dalam berbagai tahap
perkembangannya.
c.
Dalam berbagai pelaksanaan,
aktivitas, contoh dan nash-nya, hendaknya kurikulum memelihara segala kebutuhan
nyata kehidupan masyarakat dengan bertopang pada jiwa dan cita ideal yang
Islami. Dengan kata lain hendaknya struktur kurikulim itu
memperhatikan setipa aspek kebudayaan, sepanjang tidak bertentangan dengan Islam,
bahkan sebaliknya menunjang peningkatan umat merealisasikan syariat dan
keadilan Islam.
d.
Secara
keseluruhan struktur dan organisasi kurikulum tersebut hendaknya tidak
bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan dan tetap mengarah pada pola
hidup Islami. Dengan kata lain kurikulium tersebut berpeluang untuk menumbuhkan
kesatuan jiwa umat.
e.
Kurikulum
itu hendaknya realistic, dalam arti bahwa kurikulum tersebut dapat dilaksanakan
sesuai dengan situasi dan kondisi serta batas kemungkinan yang terdapat di Negara
yang akan melaksanakannya.
f.
Metode
pendidikan/pengajaran dalam kurikulum itu hendaknya bersifat luwes, sehingga
dapat disesuaikan dengan bergagai konsdisi dan situasi setempat, dengan
mengingat pula factor perbedaan individual yang menyangkut bakat, minat serta
kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan pelajaran yang bersangkutan.
g.
Kurikulum
itu hendaknya efektif, dalam arti menyampaikan dan menggugah perangkat nilai
edukatif yang membuahkan tingkah laku yang positif dalam jiwa generasi muda.
h.
Kurikulum
hendaknya memperhatikan tingkat perkembangan siswa yang bersangkutan. Dengan
kata lain kurikulum hendaknya memperhatikan perkembangan bahasa, kematangan
social, tahap kesiapan serta religiusitas siswa.
i.
Kurikulum
hendaknya memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti
pendidikan untuk berjihad dan menyebarkan da’wah Islamiyah serta membangaun
masyarakat muslim di lingkungan sekolah.
2. Pendidikan Pada Awal Masa Islam
Proses
pendidikan sebebnarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang
sejalan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat dipermukaan bumi. Dengan
turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad, beliau diberi tugas oleh Allah SWT untuk
memberi peringatan dan pengajaran kepada umatnya untuk mendidik dan mengajarkan
agama Islam.
Setelah agak
banyak orang yang memeluk agama Islam, lalu Nabi menyediakan rumah Al-Arqam bin
Abil Arqam untuk tempat pertemuan dengan sahabat dan para pengikutnya. Rumah
Al-Arqam itulah tempat pendidikan Islam yang pertama dalam sejarah pendidikan
Islam. Di sanalah Nabi megajarkan dasar-dasar/pokok-pokok agama Islam kepada
sahabat-sahabatnya dan di sana pulalah Nabi membacakan ayat-ayat
Al-Qur’an kepada pengikut-pengikutnya.
Pada masa
khulafaur-Rasyidin dan masa Bani Umaiyah sebenarnya telah ada tingkat
pengajaran hampir sama seperti sekarang ini. Tingkat pertama ialah kuttab,
sebagai tempat anak-anak belajar menulis dan membaca/menghafal al-Qur’an serta
belajar pokok-pokok ajaran Islam. Setelah tamat mereka meneruskan pelajaran ke
mesjid, pelejaran di mesjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat
tinggi.
3. Kurikulum
Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Kurikulum
dalam pendidikan Islam pada waktu itu tentunya tidak sama dengan kurikulum
modern. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan
hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan di sekolah.[14] Pada
lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk mempelajari sejumlah bidang
studi yang ditawarkan oleh lembaga. Disamping itu, siswa juga diwajibkan
mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman
belajar.
Pada waktu
itu, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata
pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya
penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi
tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang
lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar
baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum dalam
lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi
tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan kultural, materi kurikulum
menjadi semakin luas. Pada masa nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada
belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi,
dasar politik dan kesatuan.[15]
Setelah
wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat
non-Islam yang menyebabkan permasalahan social semakin komples. Problem social
tersebut pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan dan
intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam.
Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa
situasi lain bagi kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru
seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi,
Astronomi dan Kedokteran.[16]
Pada zaman
kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah
Al-Qur’an dan agama, membaca, menulis dan syair, juga ditambahkan nahwu, cerita
dan berenang. Dalam kasus-kasus lain di khususkan untuk membaca Al-Qur’an dan
mengajarkan sebagian prinsip-prinsip pokok agama. Sedangkan untuk anak-anak
amir atau penguasa, kurikulum tingkat rendah agak berbeda. Di istana-istana
biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah, ilmu sejarah, cerita
perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Al-Qur’an syair
dan fiqih.[17] Jadi
kurikulum pendidikan dalam Islam bersifat fungsional, tujuannya mengeluarkan
dan membentuk manusia muslim, yang kenal agama dan Tuhannya, berakhlak
Al-Qur’an.
Hal ini
seperti yang telah dilakukan oleh Harun al-Rasyid dalam mengajukan rencana
pelajaran bagi puteranya (al-Amin) dengan mengatakan sebagai berikut:
”Aku percayakan anakku, buah hatiku,
kepadamu, aku berikan kepadmu kekuasaan untuk menguasainya. Buat dia agar taat
kepadamu. Kupercayakan kedudukan penting ini padamu. Ajarkanlah kepadanya
al-Qur;an, sejarah, syair, hadits dan pidato. Jangan beri dia kesempatan
bersendagurau kecuali pada saat-saat tertentu. Didik dia agar menaruh hormat
kepada pemuka-pemuka Bani Hasyim dan memperlakukan dengan baik
komando-komando militer jika mereka menghadap kepadanya. Jangan biarkan
waktu berlalu tanpa mengajaran bagi dia, tetapi jangan membuat dia
bersedih. Jangan terlalu baik kepadanya karena dia akan malas. Perlakukanlah
dia dengan lemah lembut, tetapi jika itu tidak mempan perlakukanlah dia dengan
kekerasan.[18]
Setelah usai
menempuh pendidikan tingkat rendah, siswa bebaas memilih bidang studi yang
ingin di dalam pada tingkat tinggi. Jika ia ingin mendalami fiqih, ia harus
belajar fiqih kepada ulama fiqih yang ia kehendakai. Jika hendak mendalami
hadits, ia mesti beguru pada ulama-ulama hadits. Seperti kasus al-Bukhari,
semula beliau belajar ilmu fiqih kepada Muhamad bin al-Hasan, tetapi setalah
Muhammad bin al-hasan melihat bahwa ilmu hadits lebih sesuai bagi al-Bukhari,
gurunya menyarankan agar al-Bukhari belajar hadits saja.[19]
Ilmu-ilmu
agama mendominasi kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti di
mesjid dan Al-Qur’an sebagai intinya. Ilmu-ilmu agama harus dikuasai agar dapat
memahami dan menjelaskan secara terinci makan Al-Qur’an yang berfungsi sebagai
fokus pengajaran. Selain itu, hadits dan tafsir juga penting bagi siswa yang
ingin mengusai ilmu keagamaan. Hadits merupakan mata pelajaran dalam kurikulum
yang paling penting, karena kedudukannya sebagai sumber agama yang kedua
setelah Al-Qur’an. Hadits banyak diminati oleh penuntut ilmu sehingga pelajar
hadits tidak hanya berlangsung di mesjid-mesjid tepai juga di rumah-rumah ulama
dan tempat-tempat ulum.[20]
Seperti
halnya ilmu hadits, ilmu fiqih juga banyak diminati pelajar. Pelajaran fiqih
adalah materi kurikulum paling populer, mereka yang ingin mencapai
jabatan-jabatandalam pengadilan tentunya harus memilih untuk mendalam bidang
studi ini.
Seni
berdakwah (retorika) juga membentuk bagian penting dalam pengajaran ilmu-ilmu
agama, karena kemapuan menyampaikan dakwah denagn meyakinkan dan pelajaran
ilmiah memainkan peranan penting dalam kehidupan keagamaan dan pendidikan Islam
di kalangan masyarakat muslim. Keterampilan untuk bsrbicara di depan publik
termasuk ke dalam pengalaman pendidikan yang sangat berharga dalam dunia
pendidikan di masa klasik.[21]
4. Kurikulum
Pendidikan Rendah/ Dasar
Pada periode
Abbasiyah sekolah dasar disebut juga (kuttab) yang merupakan
bagian terpadu dengan mesjid. Kurikulum utamanya disebutkan pada al-Qur’an
sebagai bacaan utama para siswa, mereka juga diajari baca-tulis. Hampir dalam
seluruh kurikulum yang diajarkan, metode menghafal sangat dipentingkan. Lembaga
pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya
adalah Bait al-Hikmah(rumah kebijaksanaan) yang didirikan oleh
al-Ma’mun di Bagdad. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini
juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum serta memiliki
sebuah observatorium.[22] Mata
pelajaran pokok yang terdapat pada phase rendah adalah Al-Qur’an, agama,
membaca, menulis dan syair. Dalam beberapa hal kadang-kadang ditambah dengan
mata pelajaran an-Nahwu, cerita-cerita dan belajar berenang. Adapula
diantaranya kurikulum yang berisi pelajaran yang terbatas pada menghafal
Al-Qur’an dan mengajarkan beberapa dasar-dasar pokok agama.
Tentang
pentingnya mengajarkan al-Qur’an pada anak usia dini atau pada phase rendah
ini, seperti yang diungkapkan oleh Ibn Sina yang mengemukakan pendapatnya
tentang mendidik anak, yaitu dimulai dengan mengjarkan Al-Qur’an, karena
anak-anak telah siap dari segi fisik dan mental untuk menerima pendiktean, dan
pada waktu yang sama pula diajarkan huruf hija’ dan diajarkan dasar
agama,kemudian mempelajari syair dan artinya, yang dimulai dengan Buhur Rajaz
kemudian diajarkan qasidah. Apabila anak-anak telah selesai menghafal Al-Qur’an
dan mengetahui dasar-dasar bahasa, kemudian ia diarahkan untuk mempelajari
sesuatu sesuai dengan tabiatnya dan kesanggupannya.[23]
Al-Qabishy
juga menjelaskan sebuah bentuk dari pendidikan tingkat pertama (rendah) dengan
memulai mempelajari Al-Qur’an, sembahyang dan sesudah itu diperbolehkan
mempelajari berhitung, syair, nalar dan bahasa arab.
Ibn Khuldun
mengemukakan pentingnya mengajarkan Al-Qur’an bagi anak-anak. Mengajarkan
Al-Qur’an itu adalah titik permulaan dan dasar pendidikan yang terisi dalam
seluruh kurikulum di seluruh negara. Mengajarkan Al-Qur’an bagi anak-anak
merupakan salah satu syiar agama Islam. Menurut Ibn Khuldun sistem pengajaran
yang dipakai di Maqhrib membatasi pada mempelajari Al-Qur’an, anak-anak tidak
diajari hadits, fiqih natupun syair, sehingga mereka hanya mahir dalam
Al-Qur’an saja. Berbeda dengan sistem pengajaran di Maqhrib, pembelajaran di
Andalus dimulai dengan mempelajari Al-Qur’an karena Al-Qur’an dianggap sebagai
sumber agama dan ilmu pengetahuan. Disana juga diajarkan syair, bahasa Arab dan
qawaidnya, ilmu khath dan membaca …….[24]
Dari
berbagai pendapat para ulama’ diatas, terlihat betapa pentingnya mengajarkan
al-Qur’an bagi anak-anak pada usia dini, dan merupakan langkah awal dalam
proses pembelajaran terhadap anak pada pendidikan phase rendah dan merupakan
titik awal dasar pendidikan pengenalan agama Islam.
Adapun di
Afrika disamping mempelajari Al-Qur’an, mereka juga mempelajari hadits, ilmu
pengetahuan dan beberapa masalah yang menyangkut dengannya. Akan tetapi
perhatian mereka lebih banyak ditekankan pada mempelajari Al-Qur’an dan
menghafalnya, dan mempelajari riwayat dan qiraat-qiraatnya dari pada
pelajaran-pelajaran yang lain. Adapun perhatian mereka terhadap ilmu khath
menduduki nomor dua setelah Al-Qur’an.
Menurut
Mahmud Yunus, ilmu-ilmu yang di ajarkan pada tingkat rendah (kuttab) pada
mulanya adalah sangat sederhana, yaitu: a). Belajar membaca dan menulis; b).
Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya; c). Belajar pokok-pokok ajaran Islam,
seperti cara berwudhu’, sembahyang puasa dan sebagainya. Pada masa khalifah
Umar bin Khattab beliau instruksikan pada penduduk-penduduk kota supaya
diajarkan pada anak-anak berenang, mengendarai kuda, memanah, membaca dan
menghafal syair-syair dan peribahasa.[25]
Adapun
rencana pengajaran (kurikulum) pada tingkat rendah secara umum adalah sebagai
berikut: a). Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya; b). Pokok-pokok agama Islam;
c). Menulis; d). Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam; e). Membaca dan
menghafal syair-syair dan natsar (prosa);f). Berhitung; g). Pokok-pokok nahwu
dan syorrof.[26]
Menurut
keterangan al-Qabishy, bahwa mata pelajaran paka tingkat rendah terdiri dari
dua macam, yaitu mata pelajaran wajib dan mata pelajaran ikhtiarah. Mata
pelajaran wajib terdiri dari Al-Qur’an, sembahyang, do’a, nahwu dan bahasa Arab
serta membaca dan menulis. Adapun mata pelajaran ikhtiariah terdiri dari:
berhitung, ilmu nahwu dan bahasa Arab, sya’ir dan riwayat/tarikh Arab.[27]
Demikian
rencana pelajaran (kurikulum) pada tingkat rendah di abad ke-4 H. Pendeknya
kurikulun yang seperti itu umumnya dilakukan di sekolah-sekolah tingkat rendah
di seluruh Negara Islam.
Pada masa
itu pengajaran diberikan kepada murid-murid, seorang demi seorang dan belum
berkelas-kelas seperti sekarang ini. Pada waktu itu, juga belum ada kitab-kitab
yang ditetapkan mengajarkannya seperti sekarang, karena memang pada masa itu
belum ada percetakatan modern untuk mencetak buku-buku. Pelajaran diberikan
dengan dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau
diditekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid tersebut disuruh
menyalinn dari buku yang telah ditulis dengan tangan.
Dalam sistem
yanmg biasa berlaku pada masa itu, mata pelajaran-mata pelajaran tersebut di
atas, bukan diajarkan sekaligus kepada murid-murid, melainkan diajarkan satu
persatu. Misalnya mula-mula diajarkan Al-Qur’an saja, setelah tamat atau hafal,
baru diajarkan pokok-pokok nahwu/syaraf. Kemudian diajarkan mata pelajaran yang
lain dan begitulah seterusnya.
5. Kurikulum
Pendidikan Menengah
Kurikulum
tingkat menengah juga tidak sama di berbagai daerah, namun secara umum
kurikulum tingkat menengah itu dapat dipaparkan sebagai berikut: a). Al-Qur’an;
b). Bahasa Arab dan kesusteraan; c). Fiqih; d). Tafsir; e). hadits; f).
Nahwu/syaraf/balaqhah; g). Ilmu-ilmu pasti; h). Mantiq; i). Falak; j).
Tarikh/sejarah; k). Ilmu-ilmu alam; l). kedokteran; m). Musik.[28]
Yaqut mengatakan
rencana pelajaran pada tingkat menengah terdiri dari Al-Qur’an, tafsir, fiqih,
nahwu, sastra, syair, berhitung , ilmu ukur, tarikh dan hadits. Selain itu ada
lagi pelajaran menengah kejuruan. Misalnya untuk jadi juru tulis di
kantor-kantor, selain dari belajar bahasa, ia harus belajar surat-menyurat,
pidato, diskusi, berdebat, serta mempelajri tulisan indah.
6. Kurikulum
Pendidikan Tinggi
Kurikulum
untuk perguruan tinggi ada beberapa macam, sebagaimana pada tingkat dasar. Para
mahasiswa tidak terkait dengan mempelajari sejumlah mata pelajaran tertentu.
Kurikulum dalam pendidikan tinggi dibagi kedalam dua bagian pokok, yaitu:
kurikulum agama ditambah dengan sastra dan kurikulum ilmu pengetahun ditambah
dengan sastra.[29]
Di lembaga
pendidikan tinggi teologi dan ilmu hadits dijadikan sebagai lansadan kurikulum
dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode hafalan. Pada waktu itu,
ketika catatan harian atau memoranda belum membudaya, kemmapuan menghafal
dikembangkan setinggi mungkin dengan syarat sumber-sumber yang dihafal
merupakan sumber-sumber yang dapat dipercaya.[30]
Al-Khuwarizmi
meringkas kurikulum agama ditambah sastra dalam buku Miftahul ‘Ulum sebagai
berikut: ilmu fiqih yang membicarakan tentang sembahyang, puasa, zakat,
perkawinan, penjualan, pembelian dan lain-lain. Ilmu nahwu, ilmu kalam,
menulis, ilmu ‘arudh dan ilmu akhbar terutama tentang sejarah Persi, sejarah
Islam, sejarah Yunani dan Romawi.[31]
Kurikulum
ilmu pengetahuan ditambah sastra merupakan cirri khas pashe kedua dari
perkembangan pikiran dalam Islam, pada phase ini kelihatan jelas perkembangan
kebebasan berpikir dan luasnya lapangan pembahasan. Ilmu pengetahuan yang
dipelajri berupa ilmu matematika, ilmu alam, filsafat, kedokteran dan musik.
Pada masa
itu, penentuan kurikulum pendidikan Islam berada di tangan ulama atau kelompok
orang yang berpengaruh dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama
dan hukum. Ilmu-ilmu agama mendoninasi kurikulum lembaga pendidikan tinggi dan
Al-Qur’an sebagai intinya. Disiplin-disiplin lain yang perlu untuk memahami dan
menjelaskan makna Al-Qur’an tumbuh sebagai bagian inti dari pengajaran,
seperti ilmu hadits dan ilmu tafsir.[32] Charles
Michael S berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan
kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang yang berpengetahuan
dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, bukan
ditentukanoleh struktur kekuasaan yang berkuasa.
Jadi, dapat
disimpulkan secara umum, sistem pengelolaan pendidikan klasik tampaknya lebih
ditentukan oleh kekuataan ulama (orang yang memiliki komitmen intelektual) dari
pada kekuatan negara (orang yang memiliki kekuasaan). Baik pada masa Nabi
maupun pda masa bani Abbasiyah , para tokoh agama memiliki otoritas untuk
menenttukan sistem pendidikannya.
Cakupan
kurikulum lembaga pendidikan tinggi Islam pada abad ke-10 dapat diketahui dari
kitab Al-Fihrist (indeks) oleh Ibn al-Nadim pada tahun 988. Sumber kedua adalah
karya-karya Ikhwan al-Shafa. Adapun ensiklopedi pengajaran yang dikemukana oleh
Ikhwan al-Shafa adalah sebagai berikut:[33]
Disiplin-disiplim umum: tulis baca, arti
kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra: sajak dan puisi, ilmu tyentang
tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang dan
keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan peternakan, serta
biografi dan kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama: ilmu Al-Qur’an, tafsir,
hadits, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf dan syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika,
ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika dan hokum-hukum
geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu dan
gerakan; kosmologi; produksi, peleburan, dan elemen-elemen; meteorology dan
mineorologi; esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatopmi dan antropologi.
Menurut
Mahmud Yunus umumnya dalam perguruan tinggi itu terdiri dari dua jurusan,
yaitu: jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusasteraannya atau
disebut ilmu naqliyah dan jurusan ilmu-ilmu hikmah/ filsafat atau ilmu-ilmu
‘aqliyah.[34]
Ilmu-ilmu
yang diajarkan pada jurusan ilmu naqliyah sebagai berikut: tafsir Al-Qur’an,
hadits, fiqih dan usul fiqh nahwu/saraf, balaghah, bahasa Arab dan kesusasteraannya.
Adapun ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu ‘aqliyah sebagai berikut:
mantic, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, musik, ilmu-ilmu pasti,ilmu ukur,
falak, ilahiyah (keTuhanan), ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.
Di masa
klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan
mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya
penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi
tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang
lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar
baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum
dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang
studi tertentu. Namun seiring perkembangan social dan kultural, materi
kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran
berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak,
dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.[35]
Menurut
hemat penulis, kurikulum klasik itu terkesan bersifat separate-subject
curriculum, dimana setiap mata pelajaran berdiri sendiri-sendiri dan
terpisah-pisah dari materi dan pengetahuan yang lain, sehingga kurikulum
seperti ini cenderung berpusat pada materi pelajaran tanpa memperhatikan minat
dan bakat, dan keperlun peserta didik.
Kurikulum
bentuk ini cenderung statis dan ketinggalan zaman, kadang-kadang buku-buku yang
dijadikan pegangan penyusunannya dilakukan beberapa tahun atau bahkan puluhan
tahun yang lalu dan jika tidak dilakukan revisi untuk keperluan penyesuaian
akan ketinggalan zaman. Kadang-kadang ada hal yang dianggap benar pada waktu
itu tidak lagi diakui kebenarannya kini, sesuatu yang dulu belum ada, sekarang
telah ada atau ditemukan, dan sebagainya.
Jika bentuk
kurikulum seperti ini yang digunakan, hal ini bertentangan dengan bentuk
kurikulum modern yang menekankan correlated curriculum bahkan integrated
curriculum, dimana Kurikulum dengan bentuk ini menyajikan berbagai materi
pelajaran menjadi satu seakan-akan merupakan mata rantai yang saling
terkait.setiap mata rantai darinya harus bertalian dengan yang sebelumnya atau
dibangaun atas suatu rantai yang sebelumnya. Oleh sebab itu dalam setiap
pengajaran terlebih dahulu harus dimulai dengan mengingat kembali
pelajaran-pelajaran yang telah lalu.
Kalau kita
perhatikan lebih cermat lagi, kurikulum klasik khususnya pada halaqah-halaqah
dan sekolah diorganisasi berdasarkan pengajaran yang terpisah-pisah. Setiap
ilmu mempunyai halaqat dan gurunya sendiri, dan setiap kitab mempunyai
spesialisasi dalam ilmu tertentu. Kemudian pelajar yang ingin mempelajari beberapa
ilmu harus memasuki beberapa halaqah.
Jika kita
memahami secara mendalam kitab-kitab yang dipelajari pada halaqah-halaqah itu,
kita akan mengetahui bahwa ilmu apapun dari ilmu-ilmu Islam pada waktu itu
mempuanyai hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu yang lain, dan kitab-kitab Islam
yang pernah dipelajari masih tetap menjadi bukti tentang hal itu.
Sebagai
contoh, kitab tafsir misalnya, dalam kitab tersebut bisa dikatakan penuh dengan
berbagai i’rab dalam ilmu nahwu dan i’lal dalam ilmu sharaf. Tafsir Jalalain
yang penuh dengan ratusan i’rab dan i’lal dan kitab ini merupakan kitab klasik.
Jadi, bisa dikatakan bahwa kurikulum pada masa klasik itu bersifat integrated
curriculum.
Keterpisahan
mutlak antara berbagai materi pelajaran tidaklah termasuk tabiat pendidikan
Islam. Oleh sebab itu seluruh ilmu ini harus berhubungan satu sama lain. Hal
ini sesuia dengan prinsip kurikulum yang diajukan oleh Abdurrahman an-Nahlawi
bahwa secara keseluruhann struktur dan organisasi kurikulum itu hendaknya tidak
bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan.[36] Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan secara multidimensional yang mempradugakan
suatu interrelasi dan koordinasi di antara belbagai bidang studi serta pokok
bahasan yang diberikan kepada siswa. Demikian kurikulum harus tersusun secara
berkesinambungan dan saling terkait dan terintegrasi. Antara bidang studi yang
satu dengan yang lainnya hendaknya jelas pertautannya, saling mengacu, serta
terikat benang merahnya.
Ketika
pendidikan mengacu pada bentukseparate subject curriculum, maka bentuk
yang seperti ini kurang relevan untuk diterapkan masa modern ini ini, karena
seperti yang dikatakan di muka maka pengetahuan yang diterima peserta didik itu
akan terpisah-pisah dan terpecah-pecah sehingga mereka tidak mendapatkan
pengetahuan yang utuh. Penulis melihat bahwa kurikulum klasik itu juga
berbentuk integrated curriculum, yang mengaitkan antara satu materi
dengan materi yang seperti pada kitab tafsir Jalalain yang mengaitkan ilmu
nahwu, i’rab dan i’lal.
Menurut
hemat penulis, kurikulum (rencana pelajaran) yang tawarkan pada masa klasik
masih relevan untuk ajarkan pada masa saat ini, namun perlu diintegrasikan
antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain, sehingga tidak terjadi
pemisahan antar mata pelajaran. Dimana ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di
lembaga-lembaga pendidikan pada saat itu, seperti di mesjid dan Al-Qur’an
sebagai intinya. Pengajaran Al-Qur’an menjadi inti kurikulum klasik baik pada
tingkat rendah maupun pendidikan tinggi. Selain itu juga diajarkan ilmu-ilmu
Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi, Astronomi,
Kedokteran. Ekonomi, Politik, Ilmu Falak, Mantik, Tarikh dan Musik. Hal ini
sesuai dengan kurikulum modern yang menawarkan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.
ENDNOTE:
[5] Bojena Gajane Atryzewska Sebagaimana dikutip Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), hlm: 49-50
[6] Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam:
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group), hlm: 66
[11] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm: 271
[12] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm:
30
[17] Hasan Langgulung, Asas-Asas
Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), cet II, hlm: 118
[19] Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan
Islam(Terj) Muchtar Jahja dan Sanusi Latief (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hlm: 299
[21] Charles Michael Staton, Pendidikan
Tinggi dalam Islam: Ssjarah dan Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Logos, 1994), hlm: 53
[23] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan
Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm: 59-60
[29] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan
Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm: 75
[32] Charles Michael Staton, Pendidikan
Tinggi dalam Islam: Ssjarah dan Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Logos, 1994), hlm: 53
[36] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: CV.Diponegoro, 1992), hlm: 275
Tidak ada komentar:
Posting Komentar